Kompas Minggu 18 Desember 2005
Edna C. Pattisina
Berkali-kali pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu mengubah posisi duduknya. Matanya berpindah-pindah mengikuti pembicaraan dua pria yang juga duduk di lantai kayu. Dadanya turun naik, kepalanya berkali-kali menggeleng. Rugi saya kalau begitu, keluhnya.
Puluhan orang yang hadir di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Selasa (13/12) siang terpingkal-pingkal. Bukan karena mereka menertawakan pemuda bernama Lukas yang tampak resah. Lukas, pemuda suku Marind, pinggiran kota Merauke, untuk pertama kali mencoba menjual udang hasil tangkapannya ke Jayapura.
Selama ini, ia merasa terjebak dengan pedagang lokal yang membeli udang dengan harga murah. Inilah kisah tentang kerja keras dan harapan yang terbentur kekecewaan dalam film dokumenter Lukas Moment.
Menit demi menit membawa penonton lebih dekat dengan Lukas dan hidup sehari-harinya. Empati muncul saat pemuda yang sudah mengeluarkan modal Rp 600.000 ini hanya mendapat Rp 150.000 dari penjualan udang.
Makin lama, orang semakin tersadar kalau kehidupan pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu serupa dengan kehidupan sehari-hari banyak orang di kota besar. Hidup yang penuh harapan dan kekecewaan. Penonton bisa menertawakan diri sendiri, lewat sosok pemuda yang hidup dengan latar budaya jauh berbeda dari penonton.
Ternyata anak SMA di Merauke sama aja dengan kita yang SMA di Jakarta. Kalau bete, mereka belanja juga, tapi belanjanya buat makan adat, komentar seorang murid SMA dalam kuesioner yang disebarkan sutradara Lukas Moment, Aryo Danusiri.
Aryo berusaha menyuguhkan kepada penonton, bagaimana perjuangan Lukas akan harga diri. Bagaimana orang Papua melihat entrepreneurship dan bekerja lewat berbagai drama keseharian, kata Aryo.
Bergaya akrab
Lukas Moment menjadi salah satu film dokumenter yang tampil dalam sesi all about Indonesia di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2005. Sebanyak 17 judul film berdurasi antara 15 sampai 108 menit disiapkan, namun tiga di antaranya tidak diputar, yaitu Passabe, Timor Loro Sae, dan Tales of Crocodilles. Dari respons penonton tampak film dokumenter tak lagi menjadi sesuatu yang serius, datar, membosankan, dan tak menghibur.
Film Jogja Needs A Hero misalnya, selama 25 menit menyapa penonton dengan gayanya yang akrab. Tampil dengan gambar-gambar cepat ala MTV, film arahan sutradara Fajar Nugroho ini malah kental muatan lokal.
Jogja Needs A Hero bercerita tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat Jogja saat prakiraan tentang terjadinya badai tropis sempat membuat sebagian masyarakat panik.
Penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan kondisi ketika kepercayaan tradisional bertemu logika modern. Jogja Needs A Hero dengan jeli menyoroti cerita tentang sayur asem yang hilang dari pasar, hingga tempat-tempat mesum di daerah selatan yang sepi pelanggan.
Muatan-muatan lokal yang dikemas dengan cara bertutur dan editing yang modern membuka mata, kalau film dokumenter pun bisa tampil seksi dan bergaya.
Film-film tentang Aceh pascatsunami juga menarik perhatian dalam sesi ini. Kreativitas pembuat film seperti yang terlihat dalam Atjeh Lon Sayang, Uba Ate Allah Allah, Ubat Sosah Peyasan Beuna, dan Sejarah Negeri Yang Karam juga memberikan variasi dalam pengolahan tema yang sama.
Walau terkadang masih ada masalah-masalah teknis seperti sudut pengambilan gambar yang monoton, atau cerita yang kurang difokuskan, namun mereka menunjukkan film dokumenter tak kalah menghibur dibanding dengan film fiksi.
Friday, October 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment