Monday, October 09, 2006

Dan 'Jogja Needs A Hero'

Produksi Sangat Laki-Laki mengantar saya pada kelelahan luar biasa dan tanpa terasa tahun berganti menjadi 2005. Saat itulah, pada suatu malam, saya menemukan keping dvd film Fahrenheit 9/11 besutan Michael Moore. Film itu membuka mata saya, bahwa ternyata dokumenter itu sungguh sangat mengasyikan, kita bermain dengan asumsi, momen serta menghadapi kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Dan terutama, mengajak saya untuk melihat sesuatu yang terjadi dibalik sebuah peristiwa yang kasat mata. Istilah Dian Herdiany kepada saya; 'melihat sesuatu yang tak terlihat, atau memang enggan kita lihat'.

Dan momen itu pun tiba, suatu sore, adik saya tergopoh-gopoh masuk ke kamar saya dan menyodorkan selembar surat peringatan bencana edaran dari kepolisian (entah mengapa, surat otentik itu bahkan tidak ada dalam film Jogja Needs A Hero itu sendiri!). Maka, esok harinya, bersama Hasim Fatoni, saya mencoba menelusuri apa yang sesungguhnya terjadi, merekam kepanikan warga dan berandai-andai saja, jika panik = butuh pahlawan laiknya Superman atau Batman. Lalu siapakah sosok hero yang dibutuhkan rakyat Jogja? Dan begitulah filmnya mengalir.

Narasi Jogja Needs A Hero diisi suara Rajasa Adhi yang waktu itu masih menjadi penyiar di radio MTV Sky Jogja (sekarang i-Radio). Saya mengirimkan naskah kepadanya via email dan feedbacknya berupa suara Raja dalam bentuk CD. Setidaknya, tujuh orang berperan penting dalam proses kreatif Jogja Needs A Hero termasuk kembali terlibatnya Fresco Digital Photography dalam mendesain poster resmi film itu setelah sebelumnya Fresco juga mendesain poster Sangat Laki-Laki.
Sukses Sangat Laki-Laki membuat 'jalan' Jogja Needs A Hero dalam menggandeng sponsor sungguh terbuka lebar. Setelah berhasil menggaet Djarum Black sebagai sponsor Sangat Laki-Laki, saya mendapat dukungan yang luarbiasa untuk Jogja Needs A Hero dari Sampoerna A Mild. Film bergenre dokumenter dengan bujet produksi 175 ribu dan memakai 10 handycam pinjaman kanan kiri ini pula yang mengantar keberuntungan saya untuk mengikuti program Kickstart 2005 Indocs dan Ford Foundation serta Documentary Competition Eagle Award di Metro TV pada tahun yang sama.
Setidaknya, dengan tiket 7000 rupiah, pemutaran Jogja Needs A Hero di bioskop Mataram pada 30 Maret 2005 meraup 1500 orang penonton, film ini masih berkeliling di 8 kota besar di Indonesia pada program Indocs Travelling di bulan September - Oktober 2005, dan terakhir menjadi film yang diputar pada Jakarta International Film Festival, Desember 2005.
Berikut kutipan artikel 'Tertawa Bersama Film Dokumenter' tulisan wartawan Kompas Edna C Pattisina yang dimuat Kompas:

Film Jogja Needs A Hero misalnya, selama 25 menit menyapa penonton dengan gayanya yang akrab. Tampil dengan gambar-gambar cepat ala MTV, film arahan sutradara Fajar Nugroho ini malah kental muatan lokal.

Jogja Needs A Hero bercerita tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat Jogja saat prakiraan tentang terjadinya badai tropis sempat membuat sebagian masyarakat panik.

Penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan kondisi ketika kepercayaan tradisional bertemu logika modern. Jogja Needs A Hero dengan jeli menyoroti cerita tentang sayur asem yang hilang dari pasar, hingga tempat-tempat mesum di daerah selatan yang sepi pelanggan.

Muatan-muatan lokal yang dikemas dengan cara bertutur dan editing yang modern membuka mata, kalau film dokumenter pun bisa tampil seksi dan bergaya.

Film-film tentang Aceh pascatsunami juga menarik perhatian dalam sesi ini. Kreativitas pembuat film seperti yang terlihat dalam Atjeh Lon Sayang, Uba Ate Allah Allah, Ubat Sosah Peyasan Beuna, dan Sejarah Negeri Yang Karam juga memberikan variasi dalam pengolahan tema yang sama.

Walau terkadang masih ada masalah-masalah teknis seperti sudut pengambilan gambar yang monoton, atau cerita yang kurang difokuskan, namun mereka menunjukkan film dokumenter tak kalah menghibur dibanding dengan film fiksi.

(durasi 25 minutes, poster design soopyan matamerah, marketing director hasim fatoni, narrator adhi rajasa, editor darwin nugraha, subtitle anas firmanto, director fajar nugross)

No comments: