Saturday, October 14, 2006

Petualangan 20 Detik


Ibenk, editor saya, terbengong-bengong di depan monitor komputer yang memutar berulang-ulangfile AVI hasil syutingan berdurasi tidak lebih dari 20 detik itu. File 20 detik yang di repeat melulu itu,hanya menampilkan sosok cewek semampai bertopi krem, berkaos hijau ketat plus lengan berwarna putih, memakai jins hitam, melangkah di Jalan Slamet Riyadi kota Solo pada sore 7 September lalu. Kami menemukan rekaman kamera itu di Kaset Mini DV No 7 Kamera 2 yang berposisi di atas jembatan penyebrangan di jalan itu. Sosok itu melangkah sambil menyalami puluhan anak-anak yang merubungnya, sambil berusaha melepaskan diri dari kerumunan anak-anak itu, lalu sepersekian detik kemudian, wajahnya menoleh kearah kamera, dan... ini yang mengguncang agat dewa batara, dia melemparkan senyum! Sialan...

Kameramen kamera 2 saat itu adalah Sakti Parantean Salulinggi yang satu jam sebelumnya mendengarkan pesan lewat TalkAbout Motorola dari kamera 1 yang berposisi tiga kilometer lebih didepan kamera 2. Bahwa ditengah terik panas jalanan Solo hari itu, tertangkap sosok keren presenter Jejak Petualang. Hanya itu berita yang diterima Sakti, tak ada penjelasan tentang nama, tapi ingatannya menerima file berita hilangnya presenter Jejak Petualang dan kru nya di laut. Ini petikan berita Tabloid NOVA tentang peristiwa itu:

"Papua sana. Lima Hari Tim Jejak Petualang Hilang ISYARAT SI BUNGSU PEGANG-PEGANG BAJU Sebagian orang percaya, tanggal 6, bulan 6, tahun 2006 bisa mendatangkan pengaruh buruk. Siapa sangka, hari itu memang buruk bagi sebagian kru Jejak Petualang (JP) TV7. Badai besar datang menghantam kapal berisi 8 orang itu di Papua. Berkat pencarian yang tidak mengenal lelah, 4 orang dipastikan selamat."

Tak disangka, Sakti menemukan sosok presenter Jejak Petualang yang hilang itu di jalanan aspal panas di bawahnya. Tak menyangka pula, saya menemukan sosoknya terekam diantara 40 kaset mini DV stok film 'Kerajaan Di Tepi Bengawan' yang tengah saya edit. Maka, dengan fasilitas internet 24 jam yang tersedia di kantor, saya memburu fakta tentang sosok gadis ini, tabloid Bintang Indonesia menulis karakternya persis dengan apa yang terekam selama 20 detik itu:

"Di teve, sebagai presenter Jejak Petualang (JP,TV7) gadis itu mesti terlihat tomboi. Dandanannya minimalis. Sepatu kets, jins, topi, dan kaus tersemat di tubuhnya."

Bersama kameramen kamera 1, Agus Dharmawan, saya sudah melihatnya di ujung Utara Alun-Alun Surakarta, tapi panas, dan sibuk mengambil gambar, membuat saya hanya sempat mengirim pesan lewat handy talky Motorola ke kamera 2. Tapi tak di sangka kamera 2 berhasil menangkap momen maut selama 20 detik itu. Tabloid Bintang Indonesia merubah abis style tomboy gadis itu, fotonya bisa dilihat bersama artikel tentang pengalaman hilangnya di Papua.

Jadi, file AVI 20 detik itulah yang kini membuat Ibenk terbengong-bengong, di komputer sebelah, dengan Player DVD kami memutar file 20 detik itu berulang-ulang, membuat penasaran siapapun yang tak sengaja melihatnya. Keberaniannya memegang ular dan ketangguhannya saat hilang diPapua, membuat kami yang laki-laki ini terkagum-kagum. Eniwei, guys, mungkin sosok aslinya lebih cantik dari apa yang biasa terlihat di TV7, ditabloid dan bahkan di file 20 detik yang membuat Ibenk hampir mengeluarkan matanya. Tapi keberaniannya sungguh bisa dirasakan sangat menggetarkan hati. Perpaduan yang dahsyat bukan: kecantikan dan keberanian? i'm not beautiful like you, but i'mbeautiful like me...

Membuat saya mengirim berita ke kamera 2, membuat Sakti menangkap sosoknya di tengah ribuan orang yang berkerumun di jalanan Solo yang panas, membuat kamera 2 tanpa sengaja merekam sosoknya, membuat kami memutar file 20 detik itu berulang-ulang...

Itulah sosok Medina Kamil, 24 tahun. Dan Jejak Petualangannya yang cuma 20 detik itu memukaukami semua...

Petualangan Medina Kamil
fajarnugross@yahoo.com
Saturady 14/10/06 :
Fictionary Media Technology, Cipete, Jakarta.

Friday, October 13, 2006

'Bekerja dan Berkarya'


To:
minikino@yahoogroups.com
From:
"Ari Dina Krestiawan" Add to Address Book Add Mobile Alert
Date:
Thu, 12 Oct 2006 20:12:01 -0700 (PDT)
Subject:
Re: [minikino] Blognya Fajar dan Sponsor>> kerja dan karya


Hai Dionys,
Gue ngerasain banget yang namanya bedanya "bekerja" dan "berkarya", kegelisahan itu yang akhirnya membuat gue keluar dari bekerja di sebuah stasiun TV yang settle. Dan pandangan orang2 bekerja (teman2 sekantor) ketika itu adalah "lu pindah kemana?"
"Gue gak pindah ke mana2" gue jawab begitu. Dan mereka pun beranggapan gue punya kantor sendiri, pokoknya intinya tetap begitu.
Ya, gue terima aja lah anggapan begitu, punya kantor sendiri kan doa yang baik, he he he.

Gue mutusin untuk freelance, hal yang udah lama pengen gue lakuin dari dulu, alhamdulillah calon istri (sekarang dah jadi istri), mendukung. Gue keluar 4 bulan sebelum menikah, gue bilang sama calon mertua gue ya ketika 4 bulan sebelum menikah, bahwa gue sekarang dah gak kerja tetap lagi. Calon mertua gue diam, ha ha ha. Tapi kan gue dah keburu ngelamar anaknya.
Ya, alhamdulillah, walopun secara finansial gue masih berantakan ampe sekarang, tapi kesempatan untuk bikin karya itu ada.

4 bulan setelah gue keluar, gue dapat kesempatan untuk masang video gue di di OK Video, 3 bulan berikutnya, gue dapat kesempatan untuk ke Mexico City, ngasi workshop dokumenter untuk seniman seni rupa. Dan itu murni perjalanan untuk berkarya, kolaborasi sama seniman2 sana. Mantan temen2 kantor gue beranggapan, "gila lu pulang dari Mexico bawa duit banyak dong, udah bikin PH sendiri nih, gue kerja di tempat lu aja deh"
Hahaha, lagi2 rasanya doa yang bagus.
2 bulan berikutnya lagi, gue dapat award untuk best music video dan best director di kompetisi video klip indie. Alhamdulillah dapat kesempatan sekolah lagi 1 tahun walopun gak rajin kuliahnya.

Ya, setelah itu gue banyak bekerja lagi, dan kalopun bikin karya yang sifatnya impulsif. Dan sempet screening karya di Goethe Institute bareng temen2 juga masuk 5 besar Hello;Fest, sayang yang dapat "kado/hadiah" , cuma 4 besar, he he he.
Dan bulan September lalu ini, gue dapat kesempatan lagi untuk bikin karya, gue kolaborasi sama penulis dari Makassar dan fotografer dari Argentina, kita bikin pameran seni rupa.

Selama proses kolaborasi inilah gue belajar sesuatu dari temen Argentina itu, etos kerjanya sebagai seniman, maupun sebagai orang yang bekerja di commercial, bahwa emang ada masanya kita berenti sejenak dari "bekerja" untuk bikin "karya". Konsep itu juga ada di kepala gue, tapi belum jelas bagaimana ngungkapinnya.
Ketika gue liat web-nya, gue baru ngeh, ini yang gue cari, dia mengklasifikasikan portofolio-nya dengan "commercial work" dan "non commercial work".
Ya klasifikasi itu yang harus gue lakuin. Bahwa kita harus milih bersikap bagaimana ketika berbicara, maksudku, ketika kita berbicara dengan klien yang emang pikirannya duit melulu, ya kita sodorin aja yang commercial work, atau mungkin non commercial work yang berpotensi jadi commercial work (kaya karya2-nya si Fajar ini).

Buat gue, bikin film/video itu adalah kerjaan dan hobi sekaligus, itu bahaya, karena ketika jenuh kita gak tahu gimana larinya, lha wong jenuh kerja ngedit misalnya, terus mo lari ke hobi, ngedit juga (parah).
Ya, paling ketika jenuh, gue eksperimen gila2an aja, kocak2an yang mungkin belum ada artinya, tapi suatu saat akan nemuin sesuatu, lha wong namanya eksperimen kan, he he he.

Makanya, saat ini gue gak batasin bikin film pendek yang bercerita aja, tapi anykind of visual, itu yang menarik buat gue. Sisanya gue tetap harus bekerja, dan kadang orang2 di dunia komersil itu agak nyebelin ketika tau misalnya kita bikin art project juga, disangka kita dah gak mau kerja lagi, ga ditelpon untuk dikasih kerjaan, ya ampun gue masih pengen kerja, tapi ya harus ada liburnya dong.
Gue kagum sama Sim F, Anggun, mereka masih sempet bikin karya di kesibukan mereka.

salam

ari

----- Original Message ----
From: dionys dhewanindra
To: minikino@yahoogroup s.com
Sent: Friday, October 13, 2006 9:19:27 AM
Subject: [minikino] Blognya Fajar dan Sponsor

Aku tuntas membaca blogmu, Jar.
Membaca blogmu aja aku gak bisa tidur, apalagi kamu pelakunya langsung.
Aku harus acung jempol dan kamu tidak kacangan (dikelasnya )

Sayangnya kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
1999 aku sudah hengkang ke Jakarta, meskipun antara 2000 – 2001 sesekali pulang ke Jogja untuk bikin karya dan lumayan dibahas dikoran juga kayak kamu (he he) Waktu itu film indie jogja hanya ada beberapa gelintir. Gak tau mereka masih eksis ato enggak sekarang. Tapi salah satu komunitas itu (cukup ternama di lokal setempat, termasuk sutradaranya) kadang aku baca pengumuman kegiatannya. Hanya saja karyanya jarang tercium lagi sekarang.
Mungkin suatu saat kita akan ketemu sambil ngobrol ngalor ngidul di angkringan.

SPONSOR

Membaca blogmu, kamu itu fenomena. Setidaknya yang aku tahu sementara ini.
Jarang ada filmmaker indie yang karyanya sampe diputer di bioskop dan mendapat sponsor lumayan bergengsi ( ukurannya di tahun itu lho. Mungkin sekarang sudah banyak). Persaingan untuk mendapat sponsor di Jogja sangat ketat karena bagaimanapun juga Jogja is gudangnya creator. Perbandingan kalangan pabrikan (sebut saja gitu) dan kalangan seniman sangat tidak seimbangan. Tapi itu tergantung bagaimana si seniman berkompromi pastinya. Sejumlah filmmu (meski aku belum nonton) secara tematik memang sangat dekat dengan segmen bidikan sponsor. Itu sih masalah pilihan kreatornya, tetap sah mau bikin karya yang kayak gimana. Artinya, kalau kita mau bikin karya yang ber-sponsor ya berarti bikinlah yang entertain. Bukan yang kontemporer, eksperimental atau absurd.

Suatu kali di tahun 2005, aku membuat produksi sinetron yang agak kontemporer sebanyak 13 episode untuk Jogja TV ( TV local). “ Panji Semiran Hanguncit Butuh “ judulnya, itu kalo kamu pernah nonton TV lokalmu lho. Sebuah komedi laga. Ceritanya pendekar yang balas dendam gara-gara gegar otak dalam kandungan.
Iklan/sponsor yang masuk kebanyakan sebangsa jamu-jamuan. Kenapa demikian? Tentu saja karena materi yang ada, cocoknya kalangan pabrikan yang demikian. Kalau aku bikinnya yang ngepop tentu sponsornya beda lagi bangsanya.
Filpen “ Trilogi Bangsat “ku sama sekali tak bersponsor karena prediksiku memang gak akan pernah ada sponsor yang mau ikutan. Kalau adapun mungkin bangsanya peti jenasah ato vodka. Bisa juga penerbit yang menerbitkan buku “ mengumpat itu mudah “. Tapi sekali lagi itu pilihan berkarya.


PERASAAN BERKARYA DAN BEKERJA YANG BERBEDA

Kembali ke paling awal, yakni masalah sampe gak bisa tidur.
Suatu kebanggaan yang terus menghantui itu wajar saja. Apalagi karya itu lahir pure dari kita sendiri. Berbeda sekali rasanya jika kita mengerjakan proyek orang alias bekerja
Sederet proyek sinetron, iklan, documenter, video klip, company profile, siaran langsung, dsb sudah sekian tahunan aku terlibat di dalamnya, tapi entah kenapa aku masih merasa ada perbedaaan antara “ berkarya “ dan “ bekerja “.
Aku gak tau apa cuman karena hanya orderan saja jadi rasanya beda.
Padahal menurutku, ditingkat hasil sama saja, ya gitu-gitu juga to formatnya. video klip ya kayak gitu, documenter ya kayak gitu, film komedi ya kayak gitu, dsb. Yang bedain cuma tujuan, bentuk/tampilan visual dan tema yang diangkat. Makanya aku menolak diskriminasi indie atau mayor ( secara : apa yang ingin ditampilkan. Bukan yang terkait teknis ). Lha wong (kata Edo di Wiki) bedanya cuma besar kecil budget produksi.
Aku pernah nonton sebuah film bikinan Bandung yang gambarnya pake jimmy jib, dolly track dan equipment berat lainnya. Bedanya mungkin hanya karena film itu gak ditransfer di seluloid dan gak bisa di puter di Bioskop saja. Ukuran budget pun akhirnya jadi sangat relative jika dibanding dengan yang dibikin pake handycam cap jempol. Apa yang dibikin pake handycam tadi disebut indie sementara yang pake jimmy jib mayor?
Kalau dipikir seperti itu, film Indonesia yang diputer di bioskop pun sebenarnya indie semua dibanding sama film bikinan Hollywood . Kenapa? Budget bikinan Hollywood rata-rata lebih gede dibanding bikinan Indonesia to?

Tentang perbedaan rasa berkarya dan bekerja, mungkin ada teman-teman yang merasakan hal seperti saya?

Medina di Kerajaan Tepi Bengawan


Saat syuting Kerajaan di Tepi Bengawan, 7 September 2006, mata kamera menangkap sosok cantik yang dikerubuti anak-anak, ternyata itu sosok Medina Kamil, presenter Jejak Petualang TV 7 yang sempat hilang di Papua. Cantik-cantik begini, sayang banget kalo hilang di Papua sana. Cantik-cantik begini, gak bakal hilang dari ingatan...

The SuperStar-Director #1

A good director makes sure that all parts of a film are creatively produced and brought together in a single totality. A director interprets the script, coaches the performers, works together with the montagist, etc., interrelating them all to create a work of art. According to Film Scholar Eric Sherman, the director begins with a vague idea of the entire film and uses this to help him determine what is to be done. He gains most when others are given their freedom to show what they know.

The position of the director in the traditional filmmaking process varies greatly and is extremely complex. The film director is seen as a leader of others, as providing a kind of guiding force. According to this view, the final outcome is more or less predetermined by requirements of the script, camerawork, acting, and editing; the director providing certain organizational context to the picture.

Judging from the comments of most professional directors, there is very little agreement as to what exactly their function is. There are some directors who say that they must concentrate primarily on the structures of the script. If their films are to be works of art, it will be because of the inherent beauty in the narrative and dialogue patterns in the script. Other directors are occupied primarily with the performance of actors. To them, the beauty of the film will be correlative with the quality of acting. These directors attend not only to the performance as a whole, but to endless minor nuances and gestures throughout.
Some directors attend primarily to the camerawork, their chief concern being for a pictorial beauty and smoothness of execution. There are still other directors who say that the art of film resides in the editing process. For them, all steps prior to editing yield crude material, which will be finally shaped and lent an artistic worth through their imaginative juxtaposition. The point is that there have evolved nearly as many theories of film directing as there are directors.


Only the director stands apart from any one particular contributory element but lends to all of them a sense of the pictures entirety

We cannot, while watching a film for the first time, point out particular shots or lines of dialogue and fully appreciate their ultimate relationship to the entirety of the picture. Similarly, the actor concentrating on every gesture, the writer concerned with logical narrative and captivating dialogue, the cameraman dealing with isolated images, and the editor concerned with the rhythmic flow are not in the position that the director is to grasp the film as a whole.
Only the director stands apart from any one particular contributory element but lends to all of them a sense of the pictures entirety. Many of the strongest directors have refrained from virtually any function besides that of an overseer of the film.

The director, whether he explicitly controls all the subordinate work in a film or merely creates a certain context through his very presence, is the only participant in a film's creation whose moment of self-expression is wide enough and, thus, whose artistic vision may come to characterize the film as a whole. The director's very role in the filmmaking process forces him to attend-explicitly or implicitly-to the entire film.

The director approaches a film with more or less a well-defined sense of its meaning. For him, this limits and determines what the basic drive should be of all the other contributing elements. As previously stated, the director's concern is always conditioned by a sense of the whole. He selects and guides all work and shapes it along the necessary route to achieve (as close as possible) what he has in mind.

When it is said that the director approaches a film with a sense of the whole in mind, obviously it is not meant that he has a complete knowledge of the finished product in all its parts. In fact, a director learns, as the production of the film progresses, exactly what it was that he had envisioned. There is no "beautiful shot" or "great cut" that has not been conditioned by the overriding vision of the whole that only the director provides.


What and Who Is a Director?
By definition, the director creatively translates the written word or script into specific sounds and images. He or she visualizes the script by giving abstract concepts concrete form. The director establishes a point of view on the action that helps to determine the selection of shots, camera placements and movements, and the staging of the action.
The director is responsible for the dramatic structure, pace, and directional flow of the sounds and visual images. He or she must maintain viewer interest. The director works with the talent and crew, staging and plotting action, refining the master shooting script, supervising setups and rehearsals, as well as giving commands and suggestions throughout the recording and editing.

Could a director be compared to an architect? A bricklayer laying brick upon brick? A conductor of a great orchestra? These descriptions fall short of the mark because what is being build is more volatile than stable, more fluid than secure. Director Roland Joffe (The Killing Fields) stated, "being a director is like playing on a multilayered, multidimensional chessboard, except that the chess pieces decide to move themselves." Every director has his own vision of what they feel directing entails.

Roman Polanski finds that "First of all, directing is an idea that you have of a total flow of images that are going on, which are incidentally actors, words, and objects in space. It's an idea you have of yourself, like the idea you have of your own personality, which finds its best representation in the world in terms of specific flows of imaginary images. That's what directing is."

Tertawa Bersama Film Dokumenter

Kompas Minggu 18 Desember 2005

Edna C. Pattisina


Berkali-kali pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu mengubah posisi duduknya. Matanya berpindah-pindah mengikuti pembicaraan dua pria yang juga duduk di lantai kayu. Dadanya turun naik, kepalanya berkali-kali menggeleng. Rugi saya kalau begitu, keluhnya.

Puluhan orang yang hadir di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Selasa (13/12) siang terpingkal-pingkal. Bukan karena mereka menertawakan pemuda bernama Lukas yang tampak resah. Lukas, pemuda suku Marind, pinggiran kota Merauke, untuk pertama kali mencoba menjual udang hasil tangkapannya ke Jayapura.

Selama ini, ia merasa terjebak dengan pedagang lokal yang membeli udang dengan harga murah. Inilah kisah tentang kerja keras dan harapan yang terbentur kekecewaan dalam film dokumenter Lukas Moment.

Menit demi menit membawa penonton lebih dekat dengan Lukas dan hidup sehari-harinya. Empati muncul saat pemuda yang sudah mengeluarkan modal Rp 600.000 ini hanya mendapat Rp 150.000 dari penjualan udang.

Makin lama, orang semakin tersadar kalau kehidupan pemuda berkulit hitam dan berambut keriting itu serupa dengan kehidupan sehari-hari banyak orang di kota besar. Hidup yang penuh harapan dan kekecewaan. Penonton bisa menertawakan diri sendiri, lewat sosok pemuda yang hidup dengan latar budaya jauh berbeda dari penonton.

Ternyata anak SMA di Merauke sama aja dengan kita yang SMA di Jakarta. Kalau bete, mereka belanja juga, tapi belanjanya buat makan adat, komentar seorang murid SMA dalam kuesioner yang disebarkan sutradara Lukas Moment, Aryo Danusiri.

Aryo berusaha menyuguhkan kepada penonton, bagaimana perjuangan Lukas akan harga diri. Bagaimana orang Papua melihat entrepreneurship dan bekerja lewat berbagai drama keseharian, kata Aryo.

Bergaya akrab
Lukas Moment menjadi salah satu film dokumenter yang tampil dalam sesi all about Indonesia di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2005. Sebanyak 17 judul film berdurasi antara 15 sampai 108 menit disiapkan, namun tiga di antaranya tidak diputar, yaitu Passabe, Timor Loro Sae, dan Tales of Crocodilles. Dari respons penonton tampak film dokumenter tak lagi menjadi sesuatu yang serius, datar, membosankan, dan tak menghibur.

Film Jogja Needs A Hero misalnya, selama 25 menit menyapa penonton dengan gayanya yang akrab. Tampil dengan gambar-gambar cepat ala MTV, film arahan sutradara Fajar Nugroho ini malah kental muatan lokal.

Jogja Needs A Hero bercerita tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat Jogja saat prakiraan tentang terjadinya badai tropis sempat membuat sebagian masyarakat panik.
Penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan kondisi ketika kepercayaan tradisional bertemu logika modern. Jogja Needs A Hero dengan jeli menyoroti cerita tentang sayur asem yang hilang dari pasar, hingga tempat-tempat mesum di daerah selatan yang sepi pelanggan.
Muatan-muatan lokal yang dikemas dengan cara bertutur dan editing yang modern membuka mata, kalau film dokumenter pun bisa tampil seksi dan bergaya.
Film-film tentang Aceh pascatsunami juga menarik perhatian dalam sesi ini. Kreativitas pembuat film seperti yang terlihat dalam Atjeh Lon Sayang, Uba Ate Allah Allah, Ubat Sosah Peyasan Beuna, dan Sejarah Negeri Yang Karam juga memberikan variasi dalam pengolahan tema yang sama.

Walau terkadang masih ada masalah-masalah teknis seperti sudut pengambilan gambar yang monoton, atau cerita yang kurang difokuskan, namun mereka menunjukkan film dokumenter tak kalah menghibur dibanding dengan film fiksi.

Wednesday, October 11, 2006

Buaya Jantan yang 'Sangat Laki-Laki'

Friday, 01 September 2006, Panggung
FAJAR NUGROHO LUNCURKAN NOVEL ’BUAYA JANTAN’’; Padukan Sinematografi, Realitas dan Imaji

Fajar Nugroho, penulis skenario dan sutradara film meluncurkan novel perdana berjudul ‘Buaya Jantan’ terbitan Gama Media. “Soal ekspresi ada yang memang lebih tepat dibuat skenario dan difilmkan, ada pula yang lebih menarik kalau dibuat novel,” ucap mahasiswa Fakultas Hukum UII, kelahiran Yogya, 29 Juli 1979 punya obsesi jadi sutradara film, Dikatakan Fajar, setiap ekspresi memang melihat medianya. “Novel itu lebih ekspresif, kekuatan memang pada imajinasi,” katanya enteng. Ia sendiri sebenarnya lebih punya pengalaman menulis skenario film sekaligus menyutradarai. Karya film yang dibuat antara lain, ‘Dilarang Mencium di Malam Minggu’ (2003), ‘Sangat Laki-laki’ (2004), serta sutradara film dokumenter ‘Jogja Needs A Hero’ (Jiffest, 2005) dan ‘Ksatria Kerajaan (Eagle Award Metro TV, 2005).

“Saya buat skripsi, jadinya malah novel,” ucapnya sambil tertawa. Tidak, skripsi dan novel, tetap diselesaikan sesuai porsinya masing-masing. Khusus novel ‘Buaya Jantan’ setebal 325 halaman ini memang termasuk ditulis dalam tempo yang cepat. “Ide awalnya untuk film. Novel ini saya buat dalam tempo 2 minggu, judul dan idenya sudah ngendon tahun 2004,” ucapnya, Rabu (30/8). Juga yang membahagiakan Fajar, novel ini nantinya akan diluncurkan di ‘Jogja Book Fair-2006’ di Jogja Expo Center, 7 September. Kegiatan tersebut diselenggarakan Penerbit Gama Media, Ikapi-DIY dan SKH Kedaulatan Rakyat. Secara terpisah, Direktur Penerbit Gama Media, Ny Arnabun SE kepada KR mengatakan, Fajar Nugroho sosok muda Yogya sangat berbakat, baik dalam sastra, film sekaligus jurnalistik.

“Novel Buaya Jantan ini menunjukkan hal itu, ia menggabungkan kemampuan penguasaan film, sastra dan jurnalistik,” kata Ny Arnabun SE. Novel pertamanya ini, sebagaimana sedang digandrungi oleh kebanyakan anak muda perkota-an, ia tidak memilih jalur penulisan kontemporer, tetapi menggarap tema yang pop-isme. Ia mampu menghadirkan nuansa, cita rasa pop anak muda masa kini dengan pola dan perilakunya. Menariknya novel ini, Fajar menggarap pola alur cerita sebagaimana mengadopsi sinematografi alias sangat filmis. Berbekal pengalaman sebagai sutradara, ia membuat shoot-shoot yang dilakukan terhadap peristiwa demi peristiwa secara acak. “Kata editor di Gama Media, ia membuat shoot yang menggabungkan realitas dan imaji, antara yang tampak dan terkisah,” kata Ny Arnabun. Justru yang mengagetkan, kenapa ia memilih jalan itu, ternyata ingin menghadirkan nilai dan orientasi yang berbeda yang selama ini tidak banyak diangkat ke permukaan. “Novel ini memang mencatat perubahan cara pandang anak muda, bagaimana memandang hidup, mensikapi kegelisahan hidup yang terus bergerak. Anak muda mencari cinta dan jati dirinya.” tambahnya. (Jay)-o

Stereotipe Laki-Laki

Stereotipe Laki-laki
(komentar terhadap film Sangat Laki-laki)
oleh Kurniawan Adi S.*

Sangat Laki-laki (SLL) dibuka dengan slide show kliping koran bergambar insiden-insiden dalam pertandingan sepakbola. Penonton mulai menebak, apa akan terjadi. Di lapangan Andra tampak terganggu. Gangguan itu lantas dapat penonton ketahui dari cerita Geni, si kiper cadangan. Geni dan teman perempuannya bercerita siasat mereka mengacaukan konsentrasi Andra: Kirana, pacar Andra, dijodohkan dengan Gilang.
Siasat mereka berhasil, saat pertandingan Andra kebobolan tendangan penalti. Penonton menjadi rusuh dan Kirana yang sedang menonton menjadi korban. Kirana koma. Andra membakar sepatu dan kausnya. Ia berhenti bermain sepakbola sebab merasa berdosa. Ergo si kapten tim membujuk, tetapi gagal. Hanya Riri yang menemaninya.

Di tengah-tengah sakitnya, Riri berusaha membangkitkan semangat Andra. Ia melihat ayahnya dalam diri Andra. Menghadapi sakitnya yang makin parah, Riri ditemani Miko, seorang waria sahabat karibnya sejak kecil. Demikian cerita bergerak menyusuri hubungan segi empat antara Andra, Kirana, Riri, dan Gilang. Di dalamnya terbelit soal cinta, karir, persahabatan, dan sosok dari masa lalu.

Naluri Laki-laki
Dalam berbagai citraan yang disebarkan ke masyarakat luas untuk publikasi SLL, ada satu kesinambungan yang mencolok. Poster maupun selebaran pemutaran SLL di berbagai tempat (6 tempat, Jakarta dan Yogya) bergambar Andra memunggungi kamera. Cahaya dari samping kiri tajam mengenai kaus sepakbola Andra, sehingga nama dan nomor pemainnya tampak jelas. Kedua tangannya terbuka ke samping. Jenis huruf yang dipakai tebal dan pecah-pecah. Kita mendapat satu kesan: kuat.

Latar cerita yang dipakai juga mendukung kesan kuat. Sepakbola selama ini dipandang sebagai dunia laki-laki. Kata Andra, “Sepakbola adalah permainan yang sangat laki-laki”. Sebaliknya, menjadi wajar kalau dalam film ini para perempuan berperan menjadi penggemar sepakbola. Dengan kata lain, penggemar laki-laki.

Nah, akan menarik jika kita perhatikan bagaimana SLL mengalir justru dari karakter-karakter perempuan. Saya mulai dari salah satu karakter perempuan penting, Kirana. Kirana digambarkan melalui gambar-gambar kilas-balik yang menggambarkan kekisruhan dalam pikiran Andra. Lalu adegan memerlihatkan ia berdandan, dijemput Gilang, menonton sepakbola. Inilah kali pertama penonton melihat Kirana menonton pertandingan Andra, dan Kirana langsung jatuh koma. Selanjutnya ia terbaring di rumah sakit, menunggu saat (di)sadar(kan).
Di sisi lain, Riri sering hadir dalam pertandingan maupun latihan-latihan. Ia membawa-bawa kamera foto untuk menangkap aksi Andra menjaga jaring. Namun penonton tidak melihat kegunaan foto-foto itu, selain bentuk kesenangan dan kekaguman Riri. Sekali waktu Riri marah-marah melihat teman-teman Andra lesu ditinggal sang bintang. Selesai berteriak-teriak, ia batuk darah. Lagi-lagi penonton tidak tahu penyakit yang menyerang Riri, meskipun ada dokter yang berkali-kali merawat dan memeriksanya.

Perihal darah, ada perbandingan menarik dalam film ini. Andra berdarah dua kali: dipukuli Gilang dan dipukuli kawan-kawan timnya. Pada bagian akhir cerita Andra berhasil berdamai dengan Gilang dan bermain sepakbola kembali bersama kawan-kawannya. Sebaliknya, Riri berdarah berkali-kali karena penyakit yang tidak penonton ketahui. Seolah-olah, ada kekuatan di luar dirinya yang tiada terpahami dan berkuasa menentukan hidupnya. Riri tidak berhasil mengendalikan penyakit dan darahnya.

Kembali ke soal kehadiran kedua perempuan dalam SSL. Ringkas kata, bisa saya katakan bahwa kedua perempuan utama film ini sakit akibat sepakbola. Kirana sakit akibat kerusuhan saat pertandingan sepakbola. Sakit Riri makin parah karena melanggar anjuran dokter untuk beristirahat lebih banyak. Riri kurang beristirahat karena terlalu banyak terlibat dengan kegiatan sepakbola Andra. Tindakan-tindakan perempuan cenderung tidak memiliki tujuan yang menentukan arah cerita secara dominan. Hasil potret Riri hanya menerangkan kerinduannya pada ayahnya yang pemain sepakbola. Kirana belum sempat melakukan apa pun.
Apakah perempuan tidak memiliki kemungkinan lain kecuali mencintai dan (di)sakit(i)?
Kehadiran sosok Miko, waria, memberi dimensi yang lebih kaya pada SLL; perempuan mendapat porsi cerita yang lebih banyak. Miko disuruh pulang dari London oleh ibu Riri. Ia bertugas merawat sakit badan dan sakit perasaan Riri. Miko mendengar curahan hati Riri yang sedih diabaikan oleh Andra. Miko juga telaten mengingatkan Riri soal jadwal periksa. Meskipun jenis kelamin Miko laki-laki, ia dapat masuk dalam dunia perempuan, yakni dunia kamar tidur dan curahan hati. Akan tetapi, saat Riri sedang curhat mendadak Miko mengatakan, “Meskipun gue nggak demen jadi cowok, ngelihat lu telentang kayak gitu, naluri kelaki-lakian gue jadi tergoda nih”.

Apakah saat melihat perempuan telentang mata waria pun mau tak mau menjadi mata laki-laki? Seperti kita lihat dalam kata-kata Miko, SLL menjawab soal ini dengan gagasan tentang naluri. Naluri berbeda dengan akal budi. Naluri berada di alam liar, sedang akal budi berada di alam budaya. Perempuan membuat budi menjadi naluri. Perempuan adalah penggoda, yang mengajak laki-laki melihat dosa.

Sementara kata-kata curhat Riri menjadi rangsangan bagi Miko, sebaliknya “rangsangan” Riri berakibat lain pada Kirana. Hal ini tergambar dalam adegan-adegan saat Riri menjenguk dan merawat Kirana. Kirana tidak berdaya, tidak berbicara, dan mendengar; Kirana tidak berbudi. Dengan metode curhat yang juga dianggap sebagai naluri perempuan, Riri memasuki dunia Kirana. Keduanya terlibat hubungan yang eksklusif, yang bahkan tak bisa dimasuki oleh Gilang yang menugaskan diri mengawal Kirana. Akhirnya Kirana berhasil sadar, menjadi berbudi kembali, “Kata dokter, karena itulah sarafku terangsang, dan aku jadi sadar dari koma.” Rangsangan perempuan (melalui kata-kata curhat) diterima dengan cara berbeda oleh laki-laki dan perempuan. Sayang perbedaan ini tidak dijelajahi lebih jauh.

Di bagian akhir film digambarkan bagaimana Kirana duduk di kursi roda, didorong oleh Gilang, ditemani Miko, menyaksikan Andra bermain sepakbola kembali; Kirana kembali “hidup” untuk mendukung Andra. Suara penonton berteriak-teriak, gambar bergerak lambat, lagu pengiring mengalun. Andra mencium kening Kirana, mengenakan kaus pemberian Riri, dan masuk lapangan hijau. Mata mereka bersinar bahagia. Perempuan dan laki-laki mendapat tempat masing-masing.

Film amatir dan laki-laki
Seberapa pun bermanfaat menafsir jalinan cerita dan penokohan dalam film, saya berpikir bahwa menempatkan film dalam lingkungannya juga sangat perlu dilakukan. Dalam kasus SLL, tepat kiranya meletakkannya dalam kecenderungan baru produksi film amatir akhir tahun 2000-an. Lingkungan ini diwarnai dengan pertambahan jumlah sekolah kejuruan/jurusan yang berkaitan dengan ketrampilan penggunaan media audio-visual, penurunan harga perangkat elektronik, dan pelonggaran hegemoni politik negara di medan budaya.

Akibatnya, generasi mutakhir Orde Baru mampu dan berpeluang melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan media audio-visual. Ada festival film amatir, ada pemutaran keliling, diskusi-diskusi, jejaring, klub pemutaran film, buletin lokal, pemberian penghargaan, selain jumlah produk audio-visual yang meningkat tajam. Tema cerita tidak lagi berada dalam kekang sensor resmi. Anak muda, terutama, banyak bercerita tentang kehidupan mereka sendiri.
Soal film tentang anak muda, terdapat kesamaan yang saya pikir tidak kebetulan bahwa kehadiran sosok orang tua bukan lagi menjadi bagian dominan yang menentukan gerak cerita. Dalam SSL, sosok orang tua adalah pelatih. Kedua dokter yang muncul pun masih muda. Jika orang tua sudah minggir, apakah dengan sendirinya anak muda bebas berbicara apa saja?
Menurut Krishna Sen (1994) keterlibatan perempuan untuk menduduki posisi kreatif dalam produksi film sangatlah rendah. Sejak tahun 1965, hanya ada 3 sutradara perempuan. Kondisi yang sama masih berlangsung sekarang, pula dalam produksi film amatir. Tentulah saya tidak bermaksud mengatakan bahwa dominasi laki-laki dalam tim kreatif pasti akan menghasilkan dominasi pandangan yang seksis. Namun tetap perlu langkah afirmatif untuk memerbanyak jumlah perempuan dalam tim kreatif produksi film amatir.

Dalam SLL perempuan menduduki posisi terakhir pada pos associate producer, art director, dan still photography, selain posisi-posisi “tradisional” seperti tata rias, tata busana, dan penyediaan makanan. Pembicaraan pada sisi ini saya pikir penting sebab mengukur mutu teknis dengan standar produksi profesional jelas menyesatkan. Dan penonton pun memandang film amatir seperti membaca puisi seorang teman. Yang penting bukanlah cara mengatakan, tetapi apa yang dikatakan.

Jadi, pendalaman tema-tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari para pembuat film amatir sangat perlu dilakukan. Selain menjadi upaya refleksi kritis kelompok kita sendiri, pada gilirannya hasil karya kita akan menjadi bahan refleksi pula bagi penonton. Pada gilirannya, refleksi akan membawa kita melihat metode dan kondisi produksi sebagai bagian yang penting. Untuk SLL, barangkali akan ada cerita yang berbeda jika penulis cerita atau sutradaranya perempuan. Barangkali Andra tidak perlu main bola lagi.

* editor clea, berkala kritik film, Rumah Sinema.

Jogja Terancam 'Bencana' Lebih Besar dari Badai Tropis


Fajar Nugross:
Jogja Terancam 'Bencana' Lebih Besar dari Badai Tropis
Oleh: Ekky Imanjaya

Setelah memproduksi film narasi berjudul Dilarang Mencium Di Malam Minggu dan Sangat Laki-Laki, Fajar Nugross kembali hadir dengan film terbarunya. Kali ini, warga Jogjakarta ini akan merilis film dokumenter berjudul Jogja Needs a Hero. Rencananya, 25 Maret ini, filmnya akan diputar di Kine Dua8. Berikut wawancara panjang LayarPerak dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu:

Layarperak (LP): Apa yang melatarbelakangi film Jogja Needs a Hero? Ada Kegelisahan Apa?
Fajar (F): Hari itu adik saya masuk kamar sambil membawa selebaran fotokopian dari kepolisian. Isinya meminta kewaspadaan warga Jogja karena bendaca badai tropis akan dating pada kurun waktu 5-11 Februari. Dari situlah muncul ide spontan, Jogja membutuhkan pahlawan untuk melindungi kota ini dari bencana. Merekam reaksi masyarakat, mereka fenomena yang terjadi dan ternyata, bila badai itu tak jadi datang, jogja tengah diincar "bencana" yang lebih dasyat dan mungkin tak disadari oleh warganya.

LP: Fajar sudah dua kali bikin film narasi, kok sekarang bikin dokumenter, memangnya kenapa?
F: Dulu saya pernah lihat film documenter tentang sebuah pabrik baja yang hamper bangkrut di sebuah kota di Amerika, lihat di televisi. Saya lupa judulnya, tapi kayak Michael Moore juga. Itu bikin saya senang karena ternyata dokumenter itu tidak ngebosenin. Lalu saya lihat lagi documenter Fahrenheit 9/11 sutradara yang sama. Ada keterkejutan-keterkejutan dengan fakta yang diapaparkan. Ada rasa takjub gitu saat melihatnya, bahkan menontonnya mengalir tanpa rasa lela. Lalu saya lihat Jakarta Kota Gue dari Andibachtiar Yusuf dan semakin ingin bikin film documenter. Nah, saya rasa, momen badai tropis itu saat yang tepat.

LP: Apa rasanya bikin film narasi dan dokumenter? Bedanya dimana, menurut seorang Fajar?
F: Dari pengalama, kalau narasi, kita benar-benar meng-create adegan atau scene sesuai dengan yang kita mau, lalu ada rasa puas bisa mewujudkannya. Tapi di documenter, kita menunggu momen, jika sesuai dengan yang dibayangkan—misalnya saat wawancara—lalu muncur ucapan-ucapan yang kita harapkan, nah timbul rasa senang yang tak terduga. Di film narasi, kadang kita sah saja memutar logika untuk mendapatkan scene yang menyentuh penonton. Tapi di documenter, kita tertakjub-takjub sendiri mendapatkan kenyataan, dan senang banget bisa merekamnya.

LP: Bisa dijelaskan sedikit tentang sinopsis dan storylinenya?
F: Suatu hari, saat masyarakat tengah bersiap menyambut hari kasih sayang, tiba-tiba dikejutkan oleh ungkapan "kasih sayang" Sultan Jogja kepada warga kota. Warga diminta waspada akan datangnya bencana badai tropis. Warga pun panic, warga mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan ada yang lewat cara mistik. Media local berperan besar membentuk kepanikan. Siapakah yang diharapkan warga Jogja untuk datang dan memberikan perlindungan? Bisakah Sultan Jogja menjadi pahlawan? Jika badai tak jadi dating, Jogja masih diincar bencana yang lebih dasyat. Apakah itu? Jogja membutuhkan lebih dari sekadar pahlawan.

LP: Sekarang sudah sampai tahap apa?
F: Sudah memasuki tahap Mixing. Insya Allah akan diputar perdana pada 13 Maret di Jogja. Akan diputar di tempat yang belum pernah dipakai untuk pemutaran film, yaitu di sebuah museum militer yang terlupakan.

LP: Bisa diceritakan kendala atau kejadian yang menarik saat syuting?
F: Adik saya memberitahu soal selebaran itu sehari sebelum hari H. malam itu juga saya menghubungi teman-teman yang punya handycam. Tapi tak ada satu pun yang available. Akhirnya saya pakai handycam kuno saya yang segede Gaban dan seberat beton untuk merekan berita-berita di televise dan Koran local seputar badai itu. Sampai hari ke-tuh, saya memakai 9 handycam pinjaman dari berbagai jenis, karena Cuma dipinjami sehari-sehari. Semua handycam itu milik klub-klub indie film yang saya barter dengan mencantumkan logonya di film saya, karena tidak mampu menyewa.

LP: Berapa biaya keseluruhannya?
F: Ada deeeh, tapi seingat saya. Saya hanya patugnan untuk beli kaset mini-dv dan Cuma dapat 27 ribu. Akhirnya milih merek TDK karena tidak cukup buat beli Sony. Hehehe.

LP:Sebenarnya, apa motivasi, tujuan, visi misi, dari produksi ini? apa yang hendak disampaikan kepada penonton?
F: Pertama, saya ingin bikin documenter yang tidak sekadar merekam fakta dan momen, tapi hjuga menghibur. Karena itu saya menyebutnya dengan film Documedy (Dokumenter plus Komedi). Kedua, saya ingin menunjukkan, ada sebuah kekuatan yang ;menguasai; kota Jogja. Kala Sultan berkata "a", semua warganya hamper nurut. Ketiga, saya ingin nunjukin bahwa pengaruh mistik masih saja merasuki kota yang disebut sebagai "kota pelajar" ini. Keempat, saya juga ingin memberitahu dengan halus, bahwa kota Jogja, disadari atau tidak, tengah menghadapi "bencana". Bencana apa? Lihat dulu film ini.

LP: Apa produksi selanjutnya?
F: Seharusnya, 6 bulan pertama tahun ini saya memproduksi skripsi. Hehehe. Tapi momen badai itu sayang untuk dilewatkan. Dan akhir tahun ini rencananya tetap produksi film cerita berjudul Buaya Jantan.
eimanjaya@yahoo.com)

(Dimuat di Layarperak.com pada 3 Maret 2005)

Tuesday, October 10, 2006

Documentary Competition 2005


The Ministry of Indonesian Documentary
(Documentary Competition - Eagle Award 2005)


Obsesi: 'Superstar-Director!'



Jujur saja, jika tahun 2006 ini saya nggak bikin film, maka gagal sudah niat saya membuat film setahun minimal sekali. Walau tahun 2006 ini saya sukses menaruh novel saya di rak-rak toko buku, namun tetap saja saya terobsesi menjadi 'Superstar-Director'.

Dulunya, semester 4 kuliah, saya mulai merokok Starmild, hanya gara-gara terobsesi dengan Aria Kusumadewa yang menjadi bintang iklan Starmild. Sampai ketika saya harus mengedit Jogja Needs A Hero ditengah keterbatasan duit bersama Darwin Nugraha, saya harus membeli rokok secara 'ketengan' di angkringan terdekat. Setelah Jogja Needs A Hero dirilis, dan uang mengalir serta saya mampu kembali membeli Starmild satu slop sekaligus, rokok itu ternyata sudah tidak berasa sama sekali! Maka Djarum Super menjadi rokok tetap saya sekarang. Luarbiasa kacau masalah rokok ini. Tapi nggak berat-berat amat melupakan Starmild, toh rokok itu pernah menolak untuk mensponsori film-film saya, Djarum-lah yang berbaik hati 'percaya' pada apa yang saya lakukan dan mendukung Sangat Laki-Laki. Toh walau begitu, saya tetap tidak merokok A Mild walau Sampoerna mendukung Jogja Needs A Hero. Ini masalah selera, bukan sekedar balas budi.

Ngomong-ngomong soal balas budi. Saya merasa saya telah banyak belajar film secara otodidak dari para senior-senior saya. Karena itulah, walau di tahun 2006 ini saya belum melahirkan satu judul film pun. Baik dokumenter maupun fiksi. Proyek dokumenter saya banyak sekali namun tersendat-sendat, juga proyek fiksi macam 'Mati Bujang Tengah Malam' yang juga terbengkalai. Saya merasa harus meneruskan ilmu saya tentang film yang sedikit itu ke orang lain. Salah satunya dengan mengajar di Jurusan Komunikasi Universitas Islam Indonesia, menjadi mentor bagi mahasiswa komunikasi UII di kelas mata kuliah independen mereka. Mengisi diskusi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Terus mengisi diskusi dan gak perlu dibayar sekalipun deh... Toh saya nggak pernah mengeluarkan uang sepeser pun saat meminta ilmu dari para senior saya.

Walau akan terus menulis novel berikutnya macam 'Tengah Malam di Malioboro', saya tetap berniat menjadi Superstar Director!

Sekarang 'Buaya Jantan'



Suatu ketika saat bertemu dengan Lulu Ratna di Gedung Dua8 Jakarta. Mbak Lulu menyarankan kepada saya untuk menuliskan terlebih dahulu ide-ide yang saya punya dan jangan terburu-buru untuk mengeksekusinya menjadi sebuah film. Dan jadilah novel setebal 300 lembar ini. Judulnya Buaya Jantan. Penerbitnya Gama Media Yogyakarta.
Buaya Jantan adalah konsep film fiksi ketiga setelah Sangat Laki-Laki. Namun sepanjang 2005 saya kecemplung dalam aktivitas keberuntungan dokumenter (Jogja Needs A Hero, Panggung Kasetyan Balekambang, Ksatria Kerajaan). Dan membuka tahun 2006 saya dengan surat peringatan Drop Out dari kampus. Akhirnya saya harus duduk didepan komputer mengerjakan skripsi. Tapi apakah imajinasi harus terhalang tembok kamar? Ternyata tidak. Skripsi saya hanya setebal 150 lembar dan naskah Buaya Jantan 318 lembar.
Akhir Februari 2006 saya print naskah Buaya Jantan di rental komputer dan menghabiskan duit 50 ribu, saya kopi menjadi 3 buah dan mengirimkannya ke 3 penerbit lokal Jogja. Sebuah penerbit menelpon saya sepekan kemudian dan pada 29 Juli 2006 Buaya Jantan kelar dicetak. Pada 7 September 2006 di Jogja Expo Center, novel Buaya Jantan resmi dilaunching ke pasaran. Cover Buaya Jantan didesain oleh teman-teman saya, Ade Gredenovich dari distro Red Door dan Niat Jahat dari distro Triggers.

Pahlawan Kebetulan yang Menghantui


Inilah baliho besar Sampoerna A Mild Presents Jogja Needs A Hero yang menghantui saya hingga kini. Sudah setahun lewat dan saya nggak pernah bisa bikin film lagi. Memutar lagi karya saya di bioskop Mataram dan ditonton ribuan orang lagi. Sejujurnya, saya merindukan suasana duduk diantara orang-orang yang menonton film saya di kegelapan bioskop!

PT HM Sampoerna memproduksi 5000 poster, 5000 postcard, 10 spanduk dan 2 baliho besar saat mempromosikan pemutaran perdana Jogja Needs A Hero, film dokumenter berbujet 175 ribu dan berdurasi hanya 20 menit!

Jogja telah melahirkan pahlawan kebetulan...

Sang 'Ksatria Kerajaan'


Setelah Panggung Kasetyan Balekambang, petualangan dokumenter saya di tahun 2005 berlanjut. Indocs membagikan poster besar berwarna merah Documentary Competition ketika saya tengah mengedit Panggung Kasetyan Balekambang, saya menempel poster itu di dinding kamar dan mendiamkannya hingga hari batas pengiriman proposal tiba. Setengah jam sebelum deadline itu, saya mengirimkan email ke panitia Documentary Competition. Keberuntungan berlanjut lagi, 16 Agustus 2005, Agus Darmawan (kaos putih dalam foto) menerima telepon dari Narottama Notosusanto, panitia Eagle Award itu. Proposal saya diterima dan masuk sepuluh besar, saya dan Agus akhirnya berangkat juga ke Jakarta untuk mengikuti Pitching Forum.

Film itu akhirnya berjudul Ksatria Kerajaan.

Director : Fajar Nugroho, Agus Darmawan
Producer :
Shanty Harmayn
Editor : Pandu Angga
Researcher :

Cameraman : Robertus Joko
Colour : colour
Duration : 20 minutes 10 seconds

*Available in In-Docs library
Menceritakan tentang seorang prajurit keraton dengan upah 6000 rupiah yang didapat setahun dua kali. Hal itu tidak masalah bagi Pardi, salah seorang prajurit kerajaan, karena mengabdi kepada Raja adalah sebuah kebanggan.

Tells the story of a Keraton soldier that is paid 6000 rupiah two times a year. This is not a problem for Pardi, one of the Keraton soldiers, because he is proud to serve the King.

Eagle Award 2005 Finalist

Cinta di 'Panggung Kasetyan Balekambang'


Setelah Jogja Needs A Hero yang terus membayangi saya hingga saat ini itu. Saya beruntung sekali bisa terdaftar dalam program Kickstart 2005 gelaran Indocs dan Ford Foundation. Mulanya, Inong dari Rumah Sinema selaku penyelenggara lokal mengatakan bahwa saya hanya bisa ikut program itu sebagai observer karena saya dianggap 'sudah tahu' dokumenter karena Jogja Needs A Hero. Dan saya menerima keputusan itu. Namun sehari sebelum penyelenggaraan, Inong menelpon saya lagi, dia bilang ada satu peserta mengundurkan diri. Dan beruntunglah saya...

Judul : Panggung Kasetyan Balekambang
Filmmakers : Fajar Nugroho & Bagus Wirati Purbanegara
Tahun Produksi : 2005
Durasi : 20:05

Sinopsis:
Di tengah arus perubahan zaman yang kian arogan dan himpitan berbagai permasalahan sosial ekonomi yang semakin tidak bersahabat, ketoprak Balekambang Surakarta masih menunjukkan kesetiaan pada seni tradisi, suatu pilihan yang untuk ukuran sekarang dapat dikatakan ‘gila”. Dengan pendapatan hanya Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah), setiap malam mereka menyelenggarakan pementasan ketoprak secara utuh. Penonton mereka sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Dokumenter ini mencoba menyelami berbagai permasalahan mereka, termasuk berbagai keterpurukan mereka yang kian menjadi.

Catatan Produksi:
aku berkemas ingin lari
dan kau memilih menjadi candi

Kami menemukan ‘Kerabat Kerja Seniman Muda Balekambang’ sangat mengenaskan di tengah kejamnya jaman. Kami mencoba merekamnya dari sudut pandang lain. Sudut pandang sebuah kesetiaan yang semakin langka ditemukan di tengah perkembangan jaman

Monday, October 09, 2006

Dan 'Jogja Needs A Hero'

Produksi Sangat Laki-Laki mengantar saya pada kelelahan luar biasa dan tanpa terasa tahun berganti menjadi 2005. Saat itulah, pada suatu malam, saya menemukan keping dvd film Fahrenheit 9/11 besutan Michael Moore. Film itu membuka mata saya, bahwa ternyata dokumenter itu sungguh sangat mengasyikan, kita bermain dengan asumsi, momen serta menghadapi kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Dan terutama, mengajak saya untuk melihat sesuatu yang terjadi dibalik sebuah peristiwa yang kasat mata. Istilah Dian Herdiany kepada saya; 'melihat sesuatu yang tak terlihat, atau memang enggan kita lihat'.

Dan momen itu pun tiba, suatu sore, adik saya tergopoh-gopoh masuk ke kamar saya dan menyodorkan selembar surat peringatan bencana edaran dari kepolisian (entah mengapa, surat otentik itu bahkan tidak ada dalam film Jogja Needs A Hero itu sendiri!). Maka, esok harinya, bersama Hasim Fatoni, saya mencoba menelusuri apa yang sesungguhnya terjadi, merekam kepanikan warga dan berandai-andai saja, jika panik = butuh pahlawan laiknya Superman atau Batman. Lalu siapakah sosok hero yang dibutuhkan rakyat Jogja? Dan begitulah filmnya mengalir.

Narasi Jogja Needs A Hero diisi suara Rajasa Adhi yang waktu itu masih menjadi penyiar di radio MTV Sky Jogja (sekarang i-Radio). Saya mengirimkan naskah kepadanya via email dan feedbacknya berupa suara Raja dalam bentuk CD. Setidaknya, tujuh orang berperan penting dalam proses kreatif Jogja Needs A Hero termasuk kembali terlibatnya Fresco Digital Photography dalam mendesain poster resmi film itu setelah sebelumnya Fresco juga mendesain poster Sangat Laki-Laki.
Sukses Sangat Laki-Laki membuat 'jalan' Jogja Needs A Hero dalam menggandeng sponsor sungguh terbuka lebar. Setelah berhasil menggaet Djarum Black sebagai sponsor Sangat Laki-Laki, saya mendapat dukungan yang luarbiasa untuk Jogja Needs A Hero dari Sampoerna A Mild. Film bergenre dokumenter dengan bujet produksi 175 ribu dan memakai 10 handycam pinjaman kanan kiri ini pula yang mengantar keberuntungan saya untuk mengikuti program Kickstart 2005 Indocs dan Ford Foundation serta Documentary Competition Eagle Award di Metro TV pada tahun yang sama.
Setidaknya, dengan tiket 7000 rupiah, pemutaran Jogja Needs A Hero di bioskop Mataram pada 30 Maret 2005 meraup 1500 orang penonton, film ini masih berkeliling di 8 kota besar di Indonesia pada program Indocs Travelling di bulan September - Oktober 2005, dan terakhir menjadi film yang diputar pada Jakarta International Film Festival, Desember 2005.
Berikut kutipan artikel 'Tertawa Bersama Film Dokumenter' tulisan wartawan Kompas Edna C Pattisina yang dimuat Kompas:

Film Jogja Needs A Hero misalnya, selama 25 menit menyapa penonton dengan gayanya yang akrab. Tampil dengan gambar-gambar cepat ala MTV, film arahan sutradara Fajar Nugroho ini malah kental muatan lokal.

Jogja Needs A Hero bercerita tentang dinamika yang terjadi dalam masyarakat Jogja saat prakiraan tentang terjadinya badai tropis sempat membuat sebagian masyarakat panik.

Penonton pun dibuat terpingkal-pingkal dengan kondisi ketika kepercayaan tradisional bertemu logika modern. Jogja Needs A Hero dengan jeli menyoroti cerita tentang sayur asem yang hilang dari pasar, hingga tempat-tempat mesum di daerah selatan yang sepi pelanggan.

Muatan-muatan lokal yang dikemas dengan cara bertutur dan editing yang modern membuka mata, kalau film dokumenter pun bisa tampil seksi dan bergaya.

Film-film tentang Aceh pascatsunami juga menarik perhatian dalam sesi ini. Kreativitas pembuat film seperti yang terlihat dalam Atjeh Lon Sayang, Uba Ate Allah Allah, Ubat Sosah Peyasan Beuna, dan Sejarah Negeri Yang Karam juga memberikan variasi dalam pengolahan tema yang sama.

Walau terkadang masih ada masalah-masalah teknis seperti sudut pengambilan gambar yang monoton, atau cerita yang kurang difokuskan, namun mereka menunjukkan film dokumenter tak kalah menghibur dibanding dengan film fiksi.

(durasi 25 minutes, poster design soopyan matamerah, marketing director hasim fatoni, narrator adhi rajasa, editor darwin nugraha, subtitle anas firmanto, director fajar nugross)

Sunday, October 08, 2006

Menjadi 'Sangat Laki-Laki'




Ayunda 4/11/2004
filmna keren bngd!! ceritana agaksedih,,biasalah klu gw bilanh niy filmremaja abis..yang gw suka dr film inisoundtracknya!! lagunya keren bngd..dijamin klu nonton pasti pengen nontonlagi,ga nyesel deh

yosi 14/10/2004
akhirnya kesampaian juga nonton nipelem....filmnya bagus! soalnya pesanlaki-laki yang sangat laki-laki tuterlukiskan di adegan2nya dan daridialog2nya...cuman agak jayus karenathe endnya bisa ketebak dan ada 2adegan yang mirip....flashbacknyalumayan ngangkat...

'EFFENDI Posted 13/10/2004
WORO-WORO...... bagi yg blom nontonpilem ini, DIWAJIBKAN untuk segeraberpartisipasi sebelum anda menyesalnanti. Gw terkesan dg ide ceritanya ygkreatif bangget, editingnya jg OK punya,cast-nya cakep2, pokoknya nyarisperfect deh untuk ukuran pilem indie(bukan india lho hehehee....)Cuma sayangnya dialognya pas awal2rada2 kurang jelas (khas pilem indie),tapi yg pertengahan sampe akhir baguskok udah kayak "pilem major". OSTnyadari Asterix 'n Obelix eh salah Asterix 'nSeira maksudnya, asik punya lagu2nya.Satu kata yg paling berkesan dari pilemini adalahTIKUSSSSSSSSSSSSS!!!!!!!sukses bwat Fajar Nugross 'nNugrossinema!!!! Moga jadi the nextGarin Nugroho deh.......

Sukses dengan Dilarang Mencium Di Malam Minggu, membuat saya lebih mudah dalam menyelesaikan film Sangat Laki-Laki yang dirilis pada 24 dan 25 Juli 2004 di Bioskop Mataram. Ketiga testimonial yang dikutip diatas adalah tiga dari 2.000 penonton film tersebut saat digelar pemutaran perdananya dengan tiket 7 ribu rupiah.
Sangat Laki-Laki bercerita tentang kesenangan saya pada sepakbola. Ini untuk kali pertama saya memakai boom dalam pembuatan film yang sepenuhnya dikerjakan oleh Trisno (kini sound director 9 Naga). Sangat Laki-Laki juga merupakan film fiksi dari saya yang paling matang persiapannya, kami melakukan reading, rehearsal dan blocking untuk pemain-pemainnya. Untuk menyelesaikan Sangat Laki-Laki, kami melibatkan ratusan figuran untuk suporter, menyewa dua stadion besar di Yogyakarta sebagai tempat syuting, kamar rawat inap di Rumah Sakit Tentara di Kota Baru, menyewa genset khusus. Dan lighting yang lebih sempurna serta soundtrack-soundtrack dari band-band indie yang dikemas khusus untuk film ini.
Usai di putar perdana di Bioskop Mataram dengan sponsor rokok Darum Black, Sangat Laki-Laki langsung di putar keliling di tiga kampus di Yogyakarta, UGM, UMY dan Atma Jaya Yogyakarta dengan dukungan sponsor permen Lotte.
(Durasi 75 menit, art director aulia rahman, assistant director ahmad rosyid, lighting hastagus, sound director trisno, marketing director hasim fatoni, screenplay & director fajar nugross)

Tentang 'Dilarang Mencium Di Malam Minggu'


Dilarang Mencium Di Malam Minggu diputar perdana untuk publik di Bioskop Mataram Yogyakarta pada 18 dan 19 Oktober 2003. Menyedot 1.050 penonton selama 4 kali pemutaran dengan tiket tujuh ribu rupiah. Inilah film indie Yogya pertama yang diputar perdana di Bioskop Mataram. Waktu itu saya ngajakin Darwin Nugraha (Buldozer Films, Pimpinan Produksi film ini) makan di Cak Koting, depan Bioskop Mataram. Usai makan saya mengajak Darwin nonton ke bioskop Mataram itu dan bilang, "Gimana caranya, DMDMM harus bisa diputar disini!".
Dan begitulah, akhirnya film itu diputar juga di Bioskop Mataram selama dua hari, Sabtu dan Minggu. Penontonnya berjubel di luar perkiraan. Dilarang Mencium Di Malam Minggu adalah film fiksi ketiga setelah sebelumnya saya bikin Jakjoglik (29:59 min, Nugrossinema) dan Jurok (15:15 min, Netmedia).
Pada Dilarang Mencium Di Malam Minggu, saya memasukkan beberapa kesukaan saya, motor Honda Tiger, serta VW kodok berwarna kuning yang saya pinjem dari bengkel Flatfour milik Pak Ipang. Soundtrack film ini dibuat khusus oleh Erno Keefla. Juga sebuah single 'Berlalu' yang vokalnya diisi oleh Tika Kusmayadi.
Ide ceritanya sendiri saya tulis hanya karena saya merasa benar-benar dalam keadaan 'dilarang mencium di malam minggu' karena setiap malam Minggu saya selalu berantem dengan pacar saya waktu itu. Serunya, entah karena cinta lokasi atau bukan, dua pemeran film utama ini, Annisa dan Doni menikah beneran di dunia nyata. Selamat untuk mereka dan terimakasih untuk semua kru dan pihak yang terlibat dalam produksi ini pada tahun 2003 lalu.
(durasi: 75 menit, XL One, art director dimas jayasrana, camera taufik arifiyanto, screenplay & director fajar nugross)

Saya 'Sutradara Kacangan'



27 years old Fajar Nugroho, was born in Yogyakarta July, 29th 1979. He made his own film for the first time using a handy-cam given by his father as a birthday present in 2001. People start to recognize him after the release of his first independent movie “Dilarang Mencium Di Malam Minggu” at Mataram cinema in Yogyakarta and the movie was seen by approximately 1050 people.
A year later, in 2004, Fajar released his second movie titled “Sangat Laki-laki” at the same cinema, this time was sponsored by a well known cigarette brand, Djarum.His deep interest on documentary evoked after watching Michael Moore's Fahrenheit 9/11. On March 30th, 2005 he made a movie called “Jogja Needs a Hero” and the movie was seen by 1500 people and sponsored by Sampoerna A Mild, also a very famous cigarette brand. 2005 had been a busy year for Fajar that after releasing his movie, he received a production scholarship for documentary movie from Indonesian Documentary and Ford Foundation. He was also a finalist in Eagle Award Documentary Competition held by Metro TV with his movie called “Ksatria Kerajaan” (The Kingdom’s Knights).
By the end of 2005, “Jogja Needs a Hero” was played in 8 big cities in Indonesia, and also in Jakarta Film Festival 2005. Currently, he is giving documentary workshop for High school and Undergraduate students. `This guy will rock the world!` says Akmal Nasery Basral, journalist from TEMPO Magazine.