Wednesday, October 11, 2006

Jogja Terancam 'Bencana' Lebih Besar dari Badai Tropis


Fajar Nugross:
Jogja Terancam 'Bencana' Lebih Besar dari Badai Tropis
Oleh: Ekky Imanjaya

Setelah memproduksi film narasi berjudul Dilarang Mencium Di Malam Minggu dan Sangat Laki-Laki, Fajar Nugross kembali hadir dengan film terbarunya. Kali ini, warga Jogjakarta ini akan merilis film dokumenter berjudul Jogja Needs a Hero. Rencananya, 25 Maret ini, filmnya akan diputar di Kine Dua8. Berikut wawancara panjang LayarPerak dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia itu:

Layarperak (LP): Apa yang melatarbelakangi film Jogja Needs a Hero? Ada Kegelisahan Apa?
Fajar (F): Hari itu adik saya masuk kamar sambil membawa selebaran fotokopian dari kepolisian. Isinya meminta kewaspadaan warga Jogja karena bendaca badai tropis akan dating pada kurun waktu 5-11 Februari. Dari situlah muncul ide spontan, Jogja membutuhkan pahlawan untuk melindungi kota ini dari bencana. Merekam reaksi masyarakat, mereka fenomena yang terjadi dan ternyata, bila badai itu tak jadi datang, jogja tengah diincar "bencana" yang lebih dasyat dan mungkin tak disadari oleh warganya.

LP: Fajar sudah dua kali bikin film narasi, kok sekarang bikin dokumenter, memangnya kenapa?
F: Dulu saya pernah lihat film documenter tentang sebuah pabrik baja yang hamper bangkrut di sebuah kota di Amerika, lihat di televisi. Saya lupa judulnya, tapi kayak Michael Moore juga. Itu bikin saya senang karena ternyata dokumenter itu tidak ngebosenin. Lalu saya lihat lagi documenter Fahrenheit 9/11 sutradara yang sama. Ada keterkejutan-keterkejutan dengan fakta yang diapaparkan. Ada rasa takjub gitu saat melihatnya, bahkan menontonnya mengalir tanpa rasa lela. Lalu saya lihat Jakarta Kota Gue dari Andibachtiar Yusuf dan semakin ingin bikin film documenter. Nah, saya rasa, momen badai tropis itu saat yang tepat.

LP: Apa rasanya bikin film narasi dan dokumenter? Bedanya dimana, menurut seorang Fajar?
F: Dari pengalama, kalau narasi, kita benar-benar meng-create adegan atau scene sesuai dengan yang kita mau, lalu ada rasa puas bisa mewujudkannya. Tapi di documenter, kita menunggu momen, jika sesuai dengan yang dibayangkan—misalnya saat wawancara—lalu muncur ucapan-ucapan yang kita harapkan, nah timbul rasa senang yang tak terduga. Di film narasi, kadang kita sah saja memutar logika untuk mendapatkan scene yang menyentuh penonton. Tapi di documenter, kita tertakjub-takjub sendiri mendapatkan kenyataan, dan senang banget bisa merekamnya.

LP: Bisa dijelaskan sedikit tentang sinopsis dan storylinenya?
F: Suatu hari, saat masyarakat tengah bersiap menyambut hari kasih sayang, tiba-tiba dikejutkan oleh ungkapan "kasih sayang" Sultan Jogja kepada warga kota. Warga diminta waspada akan datangnya bencana badai tropis. Warga pun panic, warga mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan ada yang lewat cara mistik. Media local berperan besar membentuk kepanikan. Siapakah yang diharapkan warga Jogja untuk datang dan memberikan perlindungan? Bisakah Sultan Jogja menjadi pahlawan? Jika badai tak jadi dating, Jogja masih diincar bencana yang lebih dasyat. Apakah itu? Jogja membutuhkan lebih dari sekadar pahlawan.

LP: Sekarang sudah sampai tahap apa?
F: Sudah memasuki tahap Mixing. Insya Allah akan diputar perdana pada 13 Maret di Jogja. Akan diputar di tempat yang belum pernah dipakai untuk pemutaran film, yaitu di sebuah museum militer yang terlupakan.

LP: Bisa diceritakan kendala atau kejadian yang menarik saat syuting?
F: Adik saya memberitahu soal selebaran itu sehari sebelum hari H. malam itu juga saya menghubungi teman-teman yang punya handycam. Tapi tak ada satu pun yang available. Akhirnya saya pakai handycam kuno saya yang segede Gaban dan seberat beton untuk merekan berita-berita di televise dan Koran local seputar badai itu. Sampai hari ke-tuh, saya memakai 9 handycam pinjaman dari berbagai jenis, karena Cuma dipinjami sehari-sehari. Semua handycam itu milik klub-klub indie film yang saya barter dengan mencantumkan logonya di film saya, karena tidak mampu menyewa.

LP: Berapa biaya keseluruhannya?
F: Ada deeeh, tapi seingat saya. Saya hanya patugnan untuk beli kaset mini-dv dan Cuma dapat 27 ribu. Akhirnya milih merek TDK karena tidak cukup buat beli Sony. Hehehe.

LP:Sebenarnya, apa motivasi, tujuan, visi misi, dari produksi ini? apa yang hendak disampaikan kepada penonton?
F: Pertama, saya ingin bikin documenter yang tidak sekadar merekam fakta dan momen, tapi hjuga menghibur. Karena itu saya menyebutnya dengan film Documedy (Dokumenter plus Komedi). Kedua, saya ingin menunjukkan, ada sebuah kekuatan yang ;menguasai; kota Jogja. Kala Sultan berkata "a", semua warganya hamper nurut. Ketiga, saya ingin nunjukin bahwa pengaruh mistik masih saja merasuki kota yang disebut sebagai "kota pelajar" ini. Keempat, saya juga ingin memberitahu dengan halus, bahwa kota Jogja, disadari atau tidak, tengah menghadapi "bencana". Bencana apa? Lihat dulu film ini.

LP: Apa produksi selanjutnya?
F: Seharusnya, 6 bulan pertama tahun ini saya memproduksi skripsi. Hehehe. Tapi momen badai itu sayang untuk dilewatkan. Dan akhir tahun ini rencananya tetap produksi film cerita berjudul Buaya Jantan.
eimanjaya@yahoo.com)

(Dimuat di Layarperak.com pada 3 Maret 2005)

No comments: