Stereotipe Laki-laki
(komentar terhadap film Sangat Laki-laki)
oleh Kurniawan Adi S.*
Sangat Laki-laki (SLL) dibuka dengan slide show kliping koran bergambar insiden-insiden dalam pertandingan sepakbola. Penonton mulai menebak, apa akan terjadi. Di lapangan Andra tampak terganggu. Gangguan itu lantas dapat penonton ketahui dari cerita Geni, si kiper cadangan. Geni dan teman perempuannya bercerita siasat mereka mengacaukan konsentrasi Andra: Kirana, pacar Andra, dijodohkan dengan Gilang.
Siasat mereka berhasil, saat pertandingan Andra kebobolan tendangan penalti. Penonton menjadi rusuh dan Kirana yang sedang menonton menjadi korban. Kirana koma. Andra membakar sepatu dan kausnya. Ia berhenti bermain sepakbola sebab merasa berdosa. Ergo si kapten tim membujuk, tetapi gagal. Hanya Riri yang menemaninya.
Di tengah-tengah sakitnya, Riri berusaha membangkitkan semangat Andra. Ia melihat ayahnya dalam diri Andra. Menghadapi sakitnya yang makin parah, Riri ditemani Miko, seorang waria sahabat karibnya sejak kecil. Demikian cerita bergerak menyusuri hubungan segi empat antara Andra, Kirana, Riri, dan Gilang. Di dalamnya terbelit soal cinta, karir, persahabatan, dan sosok dari masa lalu.
Naluri Laki-laki
Dalam berbagai citraan yang disebarkan ke masyarakat luas untuk publikasi SLL, ada satu kesinambungan yang mencolok. Poster maupun selebaran pemutaran SLL di berbagai tempat (6 tempat, Jakarta dan Yogya) bergambar Andra memunggungi kamera. Cahaya dari samping kiri tajam mengenai kaus sepakbola Andra, sehingga nama dan nomor pemainnya tampak jelas. Kedua tangannya terbuka ke samping. Jenis huruf yang dipakai tebal dan pecah-pecah. Kita mendapat satu kesan: kuat.
Latar cerita yang dipakai juga mendukung kesan kuat. Sepakbola selama ini dipandang sebagai dunia laki-laki. Kata Andra, “Sepakbola adalah permainan yang sangat laki-laki”. Sebaliknya, menjadi wajar kalau dalam film ini para perempuan berperan menjadi penggemar sepakbola. Dengan kata lain, penggemar laki-laki.
Nah, akan menarik jika kita perhatikan bagaimana SLL mengalir justru dari karakter-karakter perempuan. Saya mulai dari salah satu karakter perempuan penting, Kirana. Kirana digambarkan melalui gambar-gambar kilas-balik yang menggambarkan kekisruhan dalam pikiran Andra. Lalu adegan memerlihatkan ia berdandan, dijemput Gilang, menonton sepakbola. Inilah kali pertama penonton melihat Kirana menonton pertandingan Andra, dan Kirana langsung jatuh koma. Selanjutnya ia terbaring di rumah sakit, menunggu saat (di)sadar(kan).
Di sisi lain, Riri sering hadir dalam pertandingan maupun latihan-latihan. Ia membawa-bawa kamera foto untuk menangkap aksi Andra menjaga jaring. Namun penonton tidak melihat kegunaan foto-foto itu, selain bentuk kesenangan dan kekaguman Riri. Sekali waktu Riri marah-marah melihat teman-teman Andra lesu ditinggal sang bintang. Selesai berteriak-teriak, ia batuk darah. Lagi-lagi penonton tidak tahu penyakit yang menyerang Riri, meskipun ada dokter yang berkali-kali merawat dan memeriksanya.
Perihal darah, ada perbandingan menarik dalam film ini. Andra berdarah dua kali: dipukuli Gilang dan dipukuli kawan-kawan timnya. Pada bagian akhir cerita Andra berhasil berdamai dengan Gilang dan bermain sepakbola kembali bersama kawan-kawannya. Sebaliknya, Riri berdarah berkali-kali karena penyakit yang tidak penonton ketahui. Seolah-olah, ada kekuatan di luar dirinya yang tiada terpahami dan berkuasa menentukan hidupnya. Riri tidak berhasil mengendalikan penyakit dan darahnya.
Kembali ke soal kehadiran kedua perempuan dalam SSL. Ringkas kata, bisa saya katakan bahwa kedua perempuan utama film ini sakit akibat sepakbola. Kirana sakit akibat kerusuhan saat pertandingan sepakbola. Sakit Riri makin parah karena melanggar anjuran dokter untuk beristirahat lebih banyak. Riri kurang beristirahat karena terlalu banyak terlibat dengan kegiatan sepakbola Andra. Tindakan-tindakan perempuan cenderung tidak memiliki tujuan yang menentukan arah cerita secara dominan. Hasil potret Riri hanya menerangkan kerinduannya pada ayahnya yang pemain sepakbola. Kirana belum sempat melakukan apa pun.
Apakah perempuan tidak memiliki kemungkinan lain kecuali mencintai dan (di)sakit(i)?
Kehadiran sosok Miko, waria, memberi dimensi yang lebih kaya pada SLL; perempuan mendapat porsi cerita yang lebih banyak. Miko disuruh pulang dari London oleh ibu Riri. Ia bertugas merawat sakit badan dan sakit perasaan Riri. Miko mendengar curahan hati Riri yang sedih diabaikan oleh Andra. Miko juga telaten mengingatkan Riri soal jadwal periksa. Meskipun jenis kelamin Miko laki-laki, ia dapat masuk dalam dunia perempuan, yakni dunia kamar tidur dan curahan hati. Akan tetapi, saat Riri sedang curhat mendadak Miko mengatakan, “Meskipun gue nggak demen jadi cowok, ngelihat lu telentang kayak gitu, naluri kelaki-lakian gue jadi tergoda nih”.
Apakah saat melihat perempuan telentang mata waria pun mau tak mau menjadi mata laki-laki? Seperti kita lihat dalam kata-kata Miko, SLL menjawab soal ini dengan gagasan tentang naluri. Naluri berbeda dengan akal budi. Naluri berada di alam liar, sedang akal budi berada di alam budaya. Perempuan membuat budi menjadi naluri. Perempuan adalah penggoda, yang mengajak laki-laki melihat dosa.
Sementara kata-kata curhat Riri menjadi rangsangan bagi Miko, sebaliknya “rangsangan” Riri berakibat lain pada Kirana. Hal ini tergambar dalam adegan-adegan saat Riri menjenguk dan merawat Kirana. Kirana tidak berdaya, tidak berbicara, dan mendengar; Kirana tidak berbudi. Dengan metode curhat yang juga dianggap sebagai naluri perempuan, Riri memasuki dunia Kirana. Keduanya terlibat hubungan yang eksklusif, yang bahkan tak bisa dimasuki oleh Gilang yang menugaskan diri mengawal Kirana. Akhirnya Kirana berhasil sadar, menjadi berbudi kembali, “Kata dokter, karena itulah sarafku terangsang, dan aku jadi sadar dari koma.” Rangsangan perempuan (melalui kata-kata curhat) diterima dengan cara berbeda oleh laki-laki dan perempuan. Sayang perbedaan ini tidak dijelajahi lebih jauh.
Di bagian akhir film digambarkan bagaimana Kirana duduk di kursi roda, didorong oleh Gilang, ditemani Miko, menyaksikan Andra bermain sepakbola kembali; Kirana kembali “hidup” untuk mendukung Andra. Suara penonton berteriak-teriak, gambar bergerak lambat, lagu pengiring mengalun. Andra mencium kening Kirana, mengenakan kaus pemberian Riri, dan masuk lapangan hijau. Mata mereka bersinar bahagia. Perempuan dan laki-laki mendapat tempat masing-masing.
Film amatir dan laki-laki
Seberapa pun bermanfaat menafsir jalinan cerita dan penokohan dalam film, saya berpikir bahwa menempatkan film dalam lingkungannya juga sangat perlu dilakukan. Dalam kasus SLL, tepat kiranya meletakkannya dalam kecenderungan baru produksi film amatir akhir tahun 2000-an. Lingkungan ini diwarnai dengan pertambahan jumlah sekolah kejuruan/jurusan yang berkaitan dengan ketrampilan penggunaan media audio-visual, penurunan harga perangkat elektronik, dan pelonggaran hegemoni politik negara di medan budaya.
Akibatnya, generasi mutakhir Orde Baru mampu dan berpeluang melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan media audio-visual. Ada festival film amatir, ada pemutaran keliling, diskusi-diskusi, jejaring, klub pemutaran film, buletin lokal, pemberian penghargaan, selain jumlah produk audio-visual yang meningkat tajam. Tema cerita tidak lagi berada dalam kekang sensor resmi. Anak muda, terutama, banyak bercerita tentang kehidupan mereka sendiri.
Soal film tentang anak muda, terdapat kesamaan yang saya pikir tidak kebetulan bahwa kehadiran sosok orang tua bukan lagi menjadi bagian dominan yang menentukan gerak cerita. Dalam SSL, sosok orang tua adalah pelatih. Kedua dokter yang muncul pun masih muda. Jika orang tua sudah minggir, apakah dengan sendirinya anak muda bebas berbicara apa saja?
Menurut Krishna Sen (1994) keterlibatan perempuan untuk menduduki posisi kreatif dalam produksi film sangatlah rendah. Sejak tahun 1965, hanya ada 3 sutradara perempuan. Kondisi yang sama masih berlangsung sekarang, pula dalam produksi film amatir. Tentulah saya tidak bermaksud mengatakan bahwa dominasi laki-laki dalam tim kreatif pasti akan menghasilkan dominasi pandangan yang seksis. Namun tetap perlu langkah afirmatif untuk memerbanyak jumlah perempuan dalam tim kreatif produksi film amatir.
Dalam SLL perempuan menduduki posisi terakhir pada pos associate producer, art director, dan still photography, selain posisi-posisi “tradisional” seperti tata rias, tata busana, dan penyediaan makanan. Pembicaraan pada sisi ini saya pikir penting sebab mengukur mutu teknis dengan standar produksi profesional jelas menyesatkan. Dan penonton pun memandang film amatir seperti membaca puisi seorang teman. Yang penting bukanlah cara mengatakan, tetapi apa yang dikatakan.
Jadi, pendalaman tema-tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari para pembuat film amatir sangat perlu dilakukan. Selain menjadi upaya refleksi kritis kelompok kita sendiri, pada gilirannya hasil karya kita akan menjadi bahan refleksi pula bagi penonton. Pada gilirannya, refleksi akan membawa kita melihat metode dan kondisi produksi sebagai bagian yang penting. Untuk SLL, barangkali akan ada cerita yang berbeda jika penulis cerita atau sutradaranya perempuan. Barangkali Andra tidak perlu main bola lagi.
* editor clea, berkala kritik film, Rumah Sinema.
Wednesday, October 11, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment