Monday, November 20, 2006

The Clues Are Right in Front of Your Eyes!

Title Indonesia:
Manusia Setengah Dewa

English Title:
Half God - Half Human

Duration:
30 Minutes

Language:
Bahasa Indonesia
(with english subtitle)

Sinopsis:

Sejak menancapkan kekuasaan di tanah Jawa, perjalanan panjang Dinasti Mataram selalu dipenuhi dengan pertikaian. Sejarah mencatatnya sebagai 'ontran-ontran' Dinasti Mataram. Salah satu ontran-ontran itu, mengakibatkan Dinasti Mataram terbelah dua. Melahirkan kerajaan baru, juga raja baru yang bertahta. Film ini dimulai 250 tahun kemudian setelah raja baru dan keturunannya bertahta, tepat setelah kerajaan baru Dinasti Mataram itu usai dilanda bencana besar... Kembali ke masa lalu, menyusuri Jalan Pangeran Mangkubumi, untuk menemukan sosok 'Manusia Setengah Dewa'. Dan saat kembali menatap masa depan, kerajaan baru itu harus siap melangkah dengan sebuah budaya baru...

Director Notes:

Kata gue, film ini akan membawa lo kembali ke masa lalu. 250 tahun lalu lebih sedikit. Bahkan dari Jogja, kisahnya akan dibawa ke Keraton Mataram Surakarta yang letaknya 62 kilo meter di Timur kota Jogja. Tanya sana-sini pada keluarga kerajaan, tapi akhirnya kita sadar bahwa pencatat yang lengkap adalah para ahli sejarah. Semua dilakukan untuk mengenal sosok yang tahun 2006 ini mendepat gelar 'Pahlawan Nasional' dari Pemerintah Republik Indonesia, karena dengan mengenal sosok itu, kita akan menjadi tahu, mengapa pada tahun 2006 ini rakyat Jogja harus menanggung bencana yang ditulis koran sebagai ' Derita Zaman Ini'. Sosok yang akhirnya terungkap itu memang telah tiada berabad lampau, tapi warisannya, bakat-bakatnya masih menurun hingga kini. Bahkan, tanah tempat gue lahir ini, juga menciptakan raja-raja kecil yang kekuasaannya lebih dahsyat dari Tuhan, gempa mengakibatkan ribuan rumah rata dengan tanah, dan raja kecil itu pun tak mau kalah, meratakan tujuh rumah dengan tanah juga. Kata gue, sejak dulu, rakyat lah yang menanggung derita bagi penguasa yang berjaya.

Setelah melewati keberuntungan beruntun sehingga dapat mengikuti berbagai workshop film dokumenter. Manusia Setengah Dewa adalah dokumenter gue berikutnya. Emosi saat menyelesaikannya berapi-api, footage-footage nya datang sendiri menghampiri. Lapar tak terasa, rokok yang dihisap habis pun biasa. Intinya, jika kamu pernah nonton Jogja Needs A Hero, film ini lebih dahsyat dari itu. Ada banyak jawaban mengapa kota Yogyakarta bisa berdiri, mengapa kerajaan itu bisa berstatus Daerah Istimewa, dan mengapa tanah bencana ini dipilih untuk mendirikan sebuah kerajaan baru...

So, seperti tagline Minority Report; This Year Everybody Runs! Maka begitu juga rakyat Jogja pada tahun 2006 ini. Sesungguhnya, kado untuk 250 tahun kota Jogja bukanlah gempa... Bukanlah bencana...

Enjoy the movie guys, the clues are right in front of your eyes!


*** jika masuk nominasi film Manusia Setengah Dewa bisa kamu saksikan di ajang Festival Film Dokumenter, 12 Desember 2006 di Jogjakarta.

Behind The Scene: Manusia Setengah Dewa

A Documentary Film by Fajar Nugroho
















Proses produksi film dokumenter 'Manusia Setengah Dewa' akhirnya selesai juga. Konsep awal film yang akhirnya berdurasi 30 menit ini memang telah ada sejak Juni 2006 lalu, waktu itu, judul sementaranya adalah 'There's No Hero in Jogja'. Tapi dari beberapa masukan, judul 'There's No Hero in Jogja' cenderung berbau sama dengan 'Jogja Needs A Hero'.

Akhirnya, selama riset, saya memakai judul 'Jalan Pangeran Mangkubumi'. Judul baru itu pun kandas, karena setelah saya rasa-rasakan, judul itu nggak masuk di benak saya. Juga sangat nggak menarik untuk didengar. Ditambah kekhawatiran menyinggung perasaan keluara kerajaan.

Maka saat proses editing benar-benar dimulai, keluarlah judul 'Manusia Setengah Dewa' itu. Berdasarkan pengertian, bahwa orang Jawa dulu sangat percaya bahwa para raja adalah wakil Tuhan di dunia. Sekilas terdengar mirip lagu Iwan Fals, benar juga, tapi lagu Iwan Fals ditulis 'Manusia 1/2 Dewa'. Sekilas juga diingetin jangan-jangan ntar di demo kayak lagu Iwan Fals itu, tapi jangan lupa, lagu Iwan Fals di demo kaum muda Hindu Bali karena mencantumkan gambar salah satu Dewa suci agama Hindu.

Materi wawancara memang sudah terkumpul sejak sebelum bulan puasa. Interviu terakhir dilakukan pada seorang cewek muda bernama Sarah Diorita pada Sabtu 6/11 lalu. Sarah ini harus menerima 19 jahitan di lengan kirinya karena terjatuh saat gempa susulan. Mungkin ada yang lebih parah akibat gempa itu, tapi menjadi menarik karena Sarah adalah cewek Indonesia keturunan Perancis. Dan darah Perancis itu diwarisi dari ibunya yang juga penulis buku terjemahan Seri Serat Centhini.
Narasumber menarik lain juga berhasil saya dapatkan untuk memperkuat cerita film ini. Misalnya, disela produksi dokumenter 'Kerajaan di Tepi Bengawan' saya berhasil mewawancarai sedikit dua angota keluarga Dinasti Mataram Surakarta yaitu Gusti Kanjeng Ratu Timur dan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengenai sosok yang menjadi tema utama film 'Manusia Setengah Dewa' ini.

Bahkan, jauh-jauh hari sebelumnya, saya berhasil merekam aktivitas Putri Indonesia 2004, Artika Sari Devi saat memberikan bantuan kepada para korban bencana gempa di desa Semampir, Bantul. Artika saat itu memang menolak bila aktivitasnya didokumentasikan, apalagi bila bocor ke telinga infotainment. Tapi syukurlah, Artika akhirnya mau di wawancarai selama perjalanan di atas bak pick up yang menjemput di bandara hingga membawanya ke Bantul. 6 bulan kemudian, baru cuplikan aktivitas Artika di Bantul itu baru kita pakai di film ini.

Saya memang berjanji pada diri sendiri untuk bisa membuat sebuah karya film di tahun 2006 ini, juga berjanji untuk berpartisipasi pada helatan Festival Film Dokumenter yang dipunyai kampung halaman saya sendiri, Jogja. Maka, untuk kedua janji itulah 'Manusia Setengah Dewa' dibuat. Jika materinya sudah berhasil saya kumpulkan, kini waktunya mencari editor yang tepat. Dan, seperti biasa, Darwin Nugraha adalah sosok yang tepat. Sayangnya, kondisi Darwin tidak tepat untuk direpoti proyek 'Bandung Bondowoso' seperti ini. Apalagi Darwin sedang mengais rejeki di Jakarta.

Akhirnya, saya mencari sebuah production house di Jogja yang bersedia bekerjasama untuk menyelesaikan editing film ini, kesepakatan akhirnya di dapat, production house itu mendapat jatah title di depan film sebegai production house yang memproduksi film dokumenter 'Manusia Setengah Dewa' ini.

Secara keseluruhan, 'Manusia Setengah Dewa' melibatkan sepuluh kameramen, mereka adalah Sakti P Salulinggi, Agus Darmawan, Hari Adi Winarno, Komar, Topik, Purna Widayat, Santoso, Darwin Nugraha dan Jarot dan saya sendiri. Memakai banyak kamera mulai PD 170, XL One dan XL Two, handycam Panasonic hingga Sony.

Selama editing melelahkan 7 hari itu, pacar saya dengan setia menjadi seksi konsumsi, menyediakan makan nasi bungkus, selain di sela-sela itu, kami harus berhutang pada warung mie ayam di depan studio, juga setiap pagi di kirimi berbungkus-bungkus bubur ayam gratis sama kenalan saya yang jadi pedagang bubur. Sampai ketika seorang teman bersedia membantu mengisi musik untuk film ini karena tertarik sama jaket hijau militer merk Firebolt kepunyaan saya, padahal jaket itu juga pemberian seorang cewek pemilik distro kepada saya, ya sudah, akhirnya dengan dibayar sebuah jaket yang warna hijaunya sudah luntur menjadi cokelat karena seminggu dipakai menerjang debu di Bantul, film 'Manusia Setengah Dewa' bisa dihiasi musik.

Selesai saya melakukan editing off-line pada Senin 8/11, Taufik Arifiyanto datang untuk melakukan editing on-line. Film 'Manusia Setengah Dewa' ini harus kelar pada 15 November karena tanggal itulah deadline Festival Film Dokumenter 2006.

Semula, narasi film ini akan diisi suara seorang penyiar radio lokal. Sekaligus memanfaatkan fasilitas recording radio tersebut. Tapi karena padatnya pemakaian studio radio itu, recording suara narator harus dilakukan dengan menyewa studio KUA Etnika milik Djaduk Feriyanto. Kali ini, saya harus benar-benar mengeluarkan uang untuk menyewa studionya. Suara yang dipakai pun akhirnya suara vokalis band Orkes Moral The Produk Gagal, Gepeng Kesana-Kesini yang dilakukan pukul 11 malam hingga 3 dinihari. Dan Gepeng pun sukses hanya dibayar dengan sepiring nasi bandeng di lesehan jalan Solo pada jam 4 pagi itu. Setelah semuanya selesai, satu hal yang harus dilakukan pada satu malam terakhir, yaitu memberi subtitle Inggris agar film ini bisa melangkah kemana pun dia akan melangkah. Subtitle di kerjakan oleh Fully, yang harus melek dua malam berturut-turut tdiak saja menerjemahkan tapi juga lebih menjelaskan makna dari setiap kalimat film ini.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai konsep dasar pembuatan 'Manusia Setengah Dewa'. Pertama, film ini alurnya juga memakai konsep imajiner yang terkenal di Jogja, yaitu poros Gunung Merapi dan Laut Selatan. Maka diawal, film ini memperkenalkan gunung Merapi, kemudian melewati Tugu dan akhirnya ke laut Selatan. Kedua, film ini tidak memuat gambar-gambar penderitaan akibat bencana gempa yang terjadi di Jogja bulan Mei lalu. Ketiga, film ini benar-benar dibuat oleh orang Jogja, dengan kacamata anak muda, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jogja belakangan ini.

Terakhir, terimakasih saya tak terhingga kepada mereka yang telah berkenan meminjamkan kamera, meminjamkan komputer editing dan membantu proses produksi 'Manusia Setengah Dewa' ini.

Sunday, November 12, 2006

Dilarang Bikin Film Fiksi!

Saya pengen menulis sesuatu, tapi nggak ada ide... Karena dua minggu belakangan ini, otak udah terperas habis, mulai dari dikejar deadline naskah buku 'Dilarang Bikin Film Fiksi!' (Insya Allah bakal diterbitin ama penerbit Galang Press akhir tahun ini), juga dikejar deadline submit film yang akan ikut Festival Film Dokumenter 15 November depan, berarti deadline nya tinggal 3 hari ke depan, sedangkan saat ini, statusnya baru kelar rough cut 1... Masih banyak footage yang harus dikejar untuk ngelengkapin alur cerita yang udah kebentuk sejak dilembur dari hari kamis kemarin, at least malam minggu kemarin nggak ada pacaran, nggak ada malam mingguan.

But its oke, yang lagi dikerjain ini, adalah film dokumenter4/5. Bisa keempat kalo Kerajaan di Tepi Bengawan yang lagi di edit juga di Jakarta tapi lagi pending nggak ke itung, atau sebaliknya. Naah, film yang lagi saya edit di X-Code Films Jogja ini dokumenter juga, judulnya Manusia Setengah Dewa, dulu waktu masih tahapan konsep, saya pake judul Jalan Pangeran Mangkubumi, rupanya, setelah saya pikir-pikir, Jalan Pangeran Mangkubumi nggak ada selling pointnya, hehehe... So, saya rubah aja menjadi Manusia Setengah Dewa.

Kini Manusia Setengah Dewa, sedang tahap editing off-line, Sabtu kemaren, saya sukses mewawancarai pengalaman Sarah Diorita dan nyokapnya, Elisabet Inandiak yang juga penulis buku terjemahan kita Centhini itu. Lumayan keren juga hasilnya. Nah, beberapa jam setelah saya nulis ini, akan dilakuin sesi recording buat narasi yang suaranya bakal diisi sama suara vokalis band Produk Gagal, Gepeng Kesana-Kesini. Recording bakal dilakuin di studio Djaduk Feriyanto di daerah Bantul...

Besok senin, saya masih harus ngelengkapin footage biar mantap filmnya. Ini film pertama saya yang khusus dibuat untuk diikutsertakan dalam festival... Semoga bisa turut memeriahkan nantinya...