Monday, November 20, 2006

Behind The Scene: Manusia Setengah Dewa

A Documentary Film by Fajar Nugroho
















Proses produksi film dokumenter 'Manusia Setengah Dewa' akhirnya selesai juga. Konsep awal film yang akhirnya berdurasi 30 menit ini memang telah ada sejak Juni 2006 lalu, waktu itu, judul sementaranya adalah 'There's No Hero in Jogja'. Tapi dari beberapa masukan, judul 'There's No Hero in Jogja' cenderung berbau sama dengan 'Jogja Needs A Hero'.

Akhirnya, selama riset, saya memakai judul 'Jalan Pangeran Mangkubumi'. Judul baru itu pun kandas, karena setelah saya rasa-rasakan, judul itu nggak masuk di benak saya. Juga sangat nggak menarik untuk didengar. Ditambah kekhawatiran menyinggung perasaan keluara kerajaan.

Maka saat proses editing benar-benar dimulai, keluarlah judul 'Manusia Setengah Dewa' itu. Berdasarkan pengertian, bahwa orang Jawa dulu sangat percaya bahwa para raja adalah wakil Tuhan di dunia. Sekilas terdengar mirip lagu Iwan Fals, benar juga, tapi lagu Iwan Fals ditulis 'Manusia 1/2 Dewa'. Sekilas juga diingetin jangan-jangan ntar di demo kayak lagu Iwan Fals itu, tapi jangan lupa, lagu Iwan Fals di demo kaum muda Hindu Bali karena mencantumkan gambar salah satu Dewa suci agama Hindu.

Materi wawancara memang sudah terkumpul sejak sebelum bulan puasa. Interviu terakhir dilakukan pada seorang cewek muda bernama Sarah Diorita pada Sabtu 6/11 lalu. Sarah ini harus menerima 19 jahitan di lengan kirinya karena terjatuh saat gempa susulan. Mungkin ada yang lebih parah akibat gempa itu, tapi menjadi menarik karena Sarah adalah cewek Indonesia keturunan Perancis. Dan darah Perancis itu diwarisi dari ibunya yang juga penulis buku terjemahan Seri Serat Centhini.
Narasumber menarik lain juga berhasil saya dapatkan untuk memperkuat cerita film ini. Misalnya, disela produksi dokumenter 'Kerajaan di Tepi Bengawan' saya berhasil mewawancarai sedikit dua angota keluarga Dinasti Mataram Surakarta yaitu Gusti Kanjeng Ratu Timur dan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengenai sosok yang menjadi tema utama film 'Manusia Setengah Dewa' ini.

Bahkan, jauh-jauh hari sebelumnya, saya berhasil merekam aktivitas Putri Indonesia 2004, Artika Sari Devi saat memberikan bantuan kepada para korban bencana gempa di desa Semampir, Bantul. Artika saat itu memang menolak bila aktivitasnya didokumentasikan, apalagi bila bocor ke telinga infotainment. Tapi syukurlah, Artika akhirnya mau di wawancarai selama perjalanan di atas bak pick up yang menjemput di bandara hingga membawanya ke Bantul. 6 bulan kemudian, baru cuplikan aktivitas Artika di Bantul itu baru kita pakai di film ini.

Saya memang berjanji pada diri sendiri untuk bisa membuat sebuah karya film di tahun 2006 ini, juga berjanji untuk berpartisipasi pada helatan Festival Film Dokumenter yang dipunyai kampung halaman saya sendiri, Jogja. Maka, untuk kedua janji itulah 'Manusia Setengah Dewa' dibuat. Jika materinya sudah berhasil saya kumpulkan, kini waktunya mencari editor yang tepat. Dan, seperti biasa, Darwin Nugraha adalah sosok yang tepat. Sayangnya, kondisi Darwin tidak tepat untuk direpoti proyek 'Bandung Bondowoso' seperti ini. Apalagi Darwin sedang mengais rejeki di Jakarta.

Akhirnya, saya mencari sebuah production house di Jogja yang bersedia bekerjasama untuk menyelesaikan editing film ini, kesepakatan akhirnya di dapat, production house itu mendapat jatah title di depan film sebegai production house yang memproduksi film dokumenter 'Manusia Setengah Dewa' ini.

Secara keseluruhan, 'Manusia Setengah Dewa' melibatkan sepuluh kameramen, mereka adalah Sakti P Salulinggi, Agus Darmawan, Hari Adi Winarno, Komar, Topik, Purna Widayat, Santoso, Darwin Nugraha dan Jarot dan saya sendiri. Memakai banyak kamera mulai PD 170, XL One dan XL Two, handycam Panasonic hingga Sony.

Selama editing melelahkan 7 hari itu, pacar saya dengan setia menjadi seksi konsumsi, menyediakan makan nasi bungkus, selain di sela-sela itu, kami harus berhutang pada warung mie ayam di depan studio, juga setiap pagi di kirimi berbungkus-bungkus bubur ayam gratis sama kenalan saya yang jadi pedagang bubur. Sampai ketika seorang teman bersedia membantu mengisi musik untuk film ini karena tertarik sama jaket hijau militer merk Firebolt kepunyaan saya, padahal jaket itu juga pemberian seorang cewek pemilik distro kepada saya, ya sudah, akhirnya dengan dibayar sebuah jaket yang warna hijaunya sudah luntur menjadi cokelat karena seminggu dipakai menerjang debu di Bantul, film 'Manusia Setengah Dewa' bisa dihiasi musik.

Selesai saya melakukan editing off-line pada Senin 8/11, Taufik Arifiyanto datang untuk melakukan editing on-line. Film 'Manusia Setengah Dewa' ini harus kelar pada 15 November karena tanggal itulah deadline Festival Film Dokumenter 2006.

Semula, narasi film ini akan diisi suara seorang penyiar radio lokal. Sekaligus memanfaatkan fasilitas recording radio tersebut. Tapi karena padatnya pemakaian studio radio itu, recording suara narator harus dilakukan dengan menyewa studio KUA Etnika milik Djaduk Feriyanto. Kali ini, saya harus benar-benar mengeluarkan uang untuk menyewa studionya. Suara yang dipakai pun akhirnya suara vokalis band Orkes Moral The Produk Gagal, Gepeng Kesana-Kesini yang dilakukan pukul 11 malam hingga 3 dinihari. Dan Gepeng pun sukses hanya dibayar dengan sepiring nasi bandeng di lesehan jalan Solo pada jam 4 pagi itu. Setelah semuanya selesai, satu hal yang harus dilakukan pada satu malam terakhir, yaitu memberi subtitle Inggris agar film ini bisa melangkah kemana pun dia akan melangkah. Subtitle di kerjakan oleh Fully, yang harus melek dua malam berturut-turut tdiak saja menerjemahkan tapi juga lebih menjelaskan makna dari setiap kalimat film ini.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai konsep dasar pembuatan 'Manusia Setengah Dewa'. Pertama, film ini alurnya juga memakai konsep imajiner yang terkenal di Jogja, yaitu poros Gunung Merapi dan Laut Selatan. Maka diawal, film ini memperkenalkan gunung Merapi, kemudian melewati Tugu dan akhirnya ke laut Selatan. Kedua, film ini tidak memuat gambar-gambar penderitaan akibat bencana gempa yang terjadi di Jogja bulan Mei lalu. Ketiga, film ini benar-benar dibuat oleh orang Jogja, dengan kacamata anak muda, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Jogja belakangan ini.

Terakhir, terimakasih saya tak terhingga kepada mereka yang telah berkenan meminjamkan kamera, meminjamkan komputer editing dan membantu proses produksi 'Manusia Setengah Dewa' ini.

No comments: